Duka Adra

Adra termenung di meja belajarnya. Ia tak kuasa pergi ke pemakaman esok hari. Rasanya sudah kali ketiga ia menghadiri pemakaman dalam seminggu. Pertama ayahnya, kedua ibunya, dan ketiga akan dilaksanakan besok untuk memakamkan adiknya. Adra seakan tak bisa menangis lagi, antara ia sudah terbiasa dengan kondisi itu atau hanya lelah untuk menangisi mereka.

Adra pun bergegas ke ruang tamu. Ia melihat sebuah foto di dekat meja televisi dan mengenang keluarganya. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. Ia tinggal bersama empat anggota keluarga di rumah itu, yakni ayah,ibu, adik dan pamannya. Ia makin yakin di ketiga pemakaman pamannya tidak hadir. Dengan perasaan curiga, ia bergegas untuk menelpon polisi. Ketika Adra mengangkat genggam telepon rumahnya, tidak ada suara sama sekali. Hal ini menandakan bahwa kabel telepon terputus, atau diputus. Ia makin panik ketika melihat bar sinyal ponselnya yang menyilang.

Adra pun memutuskan untuk keluar rumah. Namun, ketika ia memegang gagang pintu depan, tangannya terluka karena gagang pintu tersebut seakan terbakar. Ia pun merasakan hawa memanas di rumah itu hingga atap rumah meluapkan api.

Adra bergegas kembali ke kamarnya untuk mencari alat untuk mendobrak pintu depan. Ia membuka laci meja, namun yang ia temukan hanyalah selembar surat laporan rumah sakit yang dituliskan untuk pasien Adra Suseno, namanya. Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa Adra menyandang penyakit psikologis bipolar, dan kepribadian yang lain Adra adalah seorang pembunuh berantai yang sangat berbahaya. Adra hanya melongo melihat surat tersebut. Teriakan dari luar rumah pun terdengar olehnya. "Manusia macam apa kau! Membunuh keluargamu sendiri?!" Ia yakin itu suara pamannya yang lolos dari kepribadian pembunuh berantainya.

0 comments:

Post a Comment