A Big Project

Sebulan yang lalu kami tengah mempersiapkan proyek besar. Semua orang mendapat jatah pekerjaannya masing-masing dengan tenggat waktu masing-masing pula. Kebetulan sekali aku tidak ingin berada di posisi pengambil keputusan. Tidak, setelah satu tahun yang melelahkan itu. Jeehan—yang akhirnya menjadi kepala pelaksana proyek—menempatkan aku di riset. Aku harus mencari data yang valid agar rekan-rekanku di bagian yang lebih teknis dapat menjalankan tugas mereka jauh lebih presisi daripada proyek sebelumnya. Tanpa menimbulkan apa yang mereka sebut sebagai korban lagi.
            Beberapa malam kuhabiskan di kantor untuk memastikan semua yang kubutuhkan sudah siap. Jeehan cukup baik memperlakukan kami. Dia selalu mendampingiku ketika lembur hingga malam. Malam sebelum hari proyek dilaksanakan, ia berkata padaku di basemen,
            “Kalau kau butuh apa-apa, bilang saja padaku. Aku mungkin tidak di dekatmu, tapi aku masih memantaumu. Kau menyimpan nomor ponselku, kan?” dia tersenyum sambil menggendong tasnya dan masuk ke mobil.
            Aku berangkat menuju stasiun kereta bawah tanah keesokan harinya. Ngomong-ngomong, namaku Madiva. Aku sudah satu tahun bekerja di Beyond Standard Company. Sebelumnya, aku adalah pegawai magang di Best. Best adalah sebutan untuk perusahaan kami. Best sangat terkenal dengan hasil pekerjaannya yang melampaui standar, atau dengan kata lain, terbaik. Best memang berisi orang-orang terbaik dari penjuru negeri. Setidaknya, versi Best sendiri.
Sejak kuliah, aku selalu mendambakan perusahaan ini. Aku melakukan semua persiapan yang dibutuhkan agar aku bisa bekerja di Best. Waktu itu, setahun sebelumnya, Best menerima pegawai magang sejumlah 214 orang. Aku dan Jeehan beruntung karena bisa lolos di semua uji coba. Orang-orang menyebut kami beruntung, tapi aku tak yakin. Agaknya aku mulai tak yakin sejak proyek besar setahun yang lalu. Proyek besar yang sama seperti tahun ini. Anak magang tentu saja dilibatkan dalam proyek tersebut. Ya, anak magang yang bisa mengerjakan proyek besar ini akan langsung diterima di Best. Kami semua memegang pekerjaan yang berbeda-beda. Kami tidak tahu pekerjaan satu sama lain sudah sejauh mana atau apa yang akan mereka lakukan. Setidaknya, aku tahu pekerjaanku.
Beberapa malam kuhabiskan di kantor saat itu. Aku pulang ke rumah orang tuaku dengan letih dan agak putus asa. Bagaimana tidak, Best benar-benar sulit ditembus olehku. Aku mempersiapkan diri mati-matian pada proyek besar yang menentukan masa depanku itu. Aku yakin bukan hanya aku yang berusaha hingga sedemikian stres. Kami, para anak magang, jarang bertegur sapa selama di kantor sejak proyek ini mencuat. Kami sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing.
“Aku pulang...” ujarku sambil melepas jaket. Kutangkap sekilas jam di dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Ruangan tampak gelap. Aku masuk ke area dapur. Dapur seketika jadi sedikit bercahaya ketika aku membuka kulkas. Kutemukan puding cokelat kesukaanku di dalamnya. Aku hendak berdiri dan berjalan ke ruang menonton TV  ketika tiba-tiba ibu sudah berada di balik pintu kulkas yang kututup.
Gees! Bu, kau mengagetkanku!” aku sedikit berteriak karena baru sadar kalau itu benar ibu setelah dua detik kemudian.
“Kau lembur lagi?” tanyanya dengan muka yang jauh berbeda dari hari-hari biasanya. Aku tidak begitu memperhatikan wanita ini, tapi aku yakin ada yang berbeda dari wajahnya. Apa ya itu? Aku hampir tidak ingat saat itu. Aku hanya mengabaikan pandanganku dan mulai berjalan dengan sepiring puding di tangan.
“Iya. Dan besok aku akan mulai proyek Best,” ujarku sambil menyendok puding ke dalam mulutku.
“Kau tahu kan kami membutuhkanmu di sini?” nada bicaranya agak mengeras sedikit.
“Aku tidak ingin tahu,” aku terus mengunyah puding dingin yang mulai terasa tidak nikmat lagi karena aku tahu arah percakapan ini.
“Kau, keterlaluan. Tidak ada bedanya dengan laki-laki itu!”
Ibu berjalan mendekatiku di dalam gelap. Ia menggerutu habis-habisan kali ini.
“Oh, Bu, tolonglah! Kalian kan sudah sama-sama dewasa. Kalian bisa hidup tanpa aku. Kenapa kalian selalu bergantung padaku? Apa kalian tidak bisa mencari jalan keluar masalah kalian sendiri?” aku berhenti mengunyah puding. Selain pudingnya sudah habis, aku memang berniat untuk pergi ke atas untuk tidur.
“Apa? Kau sama sekali tidak peduli pada ibumu lagi sejak..” kalimatnya terputus di sana. Dia tidak sanggup mengeluarkan kata itu. Tidak, setelah perjuangan yang dia berikan padaku selama ini.
“Kau benar, Bu. Aku tidak peduli pada ibu, bahkan pada siapa pun, sejak di Best,” aku berjalan memunggunginya yang kini tidak berkicau lagi. Ibu mematung diam saja.
Aku berhenti sesaat. Merasa bisa menyerangnya kali ini, “kalau saja mungkin ibu lupa, ibu lah yang selalu mendukungku untuk masuk ke Best. Apa sekarang ibu menyesal? Apa aku tidak boleh mengejar impianku setelah aku berhasil berdiri di garis start?” kataku hampir tidak gentar. Tidak kusangka aku bisa melontarkan kalimat itu, pada akhirnya.
Kudengar ia terisak. Tapi aku tidak peduli. Aku sudah cukup mengeluarkan sejumlah tenaga untuk pekerjaanku dan sekarang, ini? Oh, yang benar saja. Aku tahu mereka cukup dewasa dan kuat untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Sedangkan aku hanyalah gadis 24 tahun yang baru akan memulai kehidupan barunya di Best, perusahaan impian, everyone’s dream. Kuputuskan untuk meninggalkan ibu yang masih menangis sendirian di lantai bawah. Aku lelah. Dan entah kenapa aku agak pusing dan mual juga malam itu.
Aku merasa sangat lelah dan mungkin berkeringat dalam tidurku. Aku merasa tertidur sangat lama. Ketika bangun, aku mendapati diriku tidak berada di kamar tidur. Maksudku, kamar tidur tetapi bukan kamar tidurku. Kepalaku sakit sekali. Aku belum begitu kuat berdiri. Kupejamkan mataku untuk mengumpulkan sejumlah tenaga untuk bangkit. Dalam pandangan yang hitam dan kosong itu aku justru mendengar suara orang, dua orang, saling berteriak. Aku yakin itu suara ibu dan ayah. Aku yakin mereka sedang bertengkar seperti hari-hari sebelumnya. Suara ibu bahkan tidak terdengar seperti berteriak, ia menjerit. Aku tersentak kaget. Aku takut ayahku yang mulai tidak waras itu menyerangnya.
Aku berusaha semampuku untuk bangun dan berjalan ke arah pintu. Tapi tidak ada pintu. Hanya ada lubang yang menghubungkan kamar dengan ruangan yang lain. Aku berjalan tergopoh-gopoh berusaha mencari ibu dan ayahku di ruangan yang luas ini. Pencarianku tidak membuahkan hasil. Aku tidak bisa menemukan mereka. Napasku tersengal-sengal karena kaget bercampur tidak percaya pada apa yang kulihat. Aku berada di sebuah rumah besar yang semua dindingnya berwarna putih. Tentu saja ini bukan rumah orang tuaku yang sempit dan reot di Guinevere Street. Aku baru akan melangkah lagi untuk mencari ruang utama sampai aku dikejutkan oleh sosok orang lain, yang juga sama terkejutnya sepertiku.
  “Siapa kau?” tanyaku sambil memundurkan kaki beberapa langkah agar tidak terlalu dekat dengannya. Dalam penglihatanku, laki-laki itu tampak lebih tenang meskipun matanya menyorotkan keterkejutan yang sama denganku. Pakaiannya bersih. Dia mengenakan kemeja biru muda dengan lengan yang digulung dan celana kain hitam. Dia tampak tidak mengancam. Belum mendapat jawaban, aku kembali bertanya sedikit panik.
“Dimana aku? Kau tahu tempat ini?” aku tidak sadar sudah bertanya tiga kali.
“Aa.. aku Devin. Dan... kau?” laki-laki itu berusaha mencaritahu juga tentang aku.
“Bagaimana cara kau kesini?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaan laki-laki itu.
“Aku tidak tahu,” katanya sambil memandang tepat ke mataku.
“Aku sudah berada di sini sejak tadi malam. Aku jurnalis,” katanya sambil mengeluarkan sebuah kamera poket dari saku celananya. “Foto. Jurnalis foto.”
“Aku tidur dan bangun-bangun sudah berada di bangunan ini,” kataku seakan menjawab pertanyaan yang tidak dilontarkan Devin, si jurnalis. Aku memegang kepalaku yang mulai pusing lagi.
“Kau tidak apa-apa?” laki-laki itu mendekatiku. Dia agak berhati-hati.
“Aku baik-baik saja. Mmm, Devin, kurasa kau juga sama sekali tidak tahu kita berada dimana, kan?” tanyaku memastikan dia juga sama denganku.
“Tidak. Sama sekali tidak. Apa kau memakan sesuatu sebelum tidurmu semalam?” tanya laki-laki itu yang kini tampak lebih muda dari pertama aku melihatnya. Dia sekitar 25 tahun. 
“Puding. Banyak sekali puding,” kataku sambil mengingat-ingat betapa senangnya aku semalam menemukan sepanci puding di kulkas.
“Seseorang pasti memasukkan date rape drug dalam pudingmu.”
“Date, apa?”
“Flunitrazepam atau date rape drug. Obat yang akan membuatmu tidak sadarkan diri hingga 8 jam. Banyak kasus pemerkosaan yang dilakukan dengan memasukkan obat ini ke dalam minuman atau makanan seseorang. Tidak berbau, tidak berasa, dan larut di dalam air. Sepuluh menit kemudian korban tertidur dan pelaku bisa menyerangnya tanpa perlawanan apa-apa. Kau tahu, jurnalis selalu bersentuhan dengan hal-hal semacam ini.”
“Dan kenapa obat itu harus berada di puding di dalam kulkasku?”
“Karena kau harus dibawa kesini dengan cara yang aman. Kurasa, seseorang memang menginginkan kita berada di sini.”
“Dan bagaimana denganmu? Kau juga diracun sepertiku?”
“Tidak.  Aku sedang menyelidiki bangunan ini.”
“Apa maksudmu?”
Aku tidak tahu apakah aku sedang berbicara dengan orang waras atau bukan, tapi roman mukanya sangat meyakinkan. Dan aku tidak pernah seyakin ini terhadap penculikan-penculikan dengan obat sampai akhirnya menimpaku sendiri. Maksudku, coba pikir, bagaimana mungkin ibu membuat puding cokelat kesukaanku dan secara tidak sadar bukannya memasukkan gula tetapi justru obat tidur?! Tidak, kecuali jika bukan ibu yang memasukkannya. Oh, Tuhan, aku pasti sudah gila memikirkannya!
“Aku sedang mencari berita dan gambar untuk diterbitkan di halaman depan majalah kami. Ada sebuah kastil kuno yang menarik para investor untuk dijadikan tempat wisata baru di daerah ini. Pencarianku menuntunku ke sini. Bangunan yang ternyata tidak memiliki pintu keluar maupun masuk.”
Kami diam selama beberapa saat. Jam di dinding berdetak kencang menunjukkan pukul 11, tapi degup jantung kami terdengar lebih kencang daripada jam. Aku baru ingat hari ini aku seharusnya memulai proyek Best yang sudah kupersiapkan sejak lama.
“Sial,” ujarku tanpa sadar.
“Ada apa?”
“Hari ini harusnya aku mulai proyek perusahaan tempat aku magang.”
“Kalau begitu seseorang pasti akan mencarimu.”
Aku tersentak kaget dan seakan baru menyadari sesuatu, “apa kau membawa ponselmu kesini?”
“Ya.” Laki-laki itu mengeluarkan ponsel di saku yang tidak ada kamera di dalamnya. Tapi ponsel itu ternyata mati kehabisan daya.
“Aku Madiva, ngomong-ngomong,” aku mengenalkan diri sedikit agak terlambat.
Laki-laki itu tersenyum dan menghela napas. “Aku tidak tahu kalau aku masuk bukan ke sebuah kastil tapi bangunan yang lebih mirip penjara.”
“Semacam portal dalam Alice in Wonderland saja, ya?”
Kami mulai menelusuri bangunan ini. Aku yakin ini kali kedua Devin melakukan penelurusan di bangunan ini. Dia lebih dulu sampai daripada aku. Kami tidak bisa menemukan alat komunikasi di dalam bangunan.
Bangunan ini nampak seperti rumah masa depan yang futuristik dan mewah. Bangunan ini benar-benar luas dan bersih. Ada kamar tidur lain yang mirip dengan kamar tempatku terbangun tadi pagi. Ada sebuah aula besar dengan air terjun yang menempel di kaca besar sebagai dindingnya. Langit-langit bangunan sangat tinggi. Kamar mandinya seukuran kamar tidurku di Guinevere Street. Ada kolam renang juga di bagian belakang bangunan. Sebuah ruang berkumpul yang santai tetapi mewah berada di bagian belakang dekat kolam. Ada sebuah perapian besar menyala di sana. Tidak ada lampu dimana-mana, tapi ruangan-ruangan selalu menyala dengan terang. Semua perabotan bercat putih. Hanya beberapa barang yang berwarna biru metalik. Jam di dinding adalah satu-satunya barang yang berwarna hitam. Dan kini jam itu mulai menunjukkan pukul 3.
Aku tidak tahan lagi. Ada tugas yang lebih mendesak dari berkeliling rumah masa depan ini. Akhirnya, aku berhasil menemukan petunjuk.
“Apa kau menemukan sesuatu?” Devin menghampiriku yang berdiri diam di belakang rumah tempat kolam renang berada.
“Apa kau bisa berenang?” tanyaku.
“Iya. Mengapa?”
“Aku rasa cincinku terjatuh di dasar kolam saat tadi mencari petunjuk.”
“Baiklah, akan kuambilkan. Kau tetap di sini, oke?”
Laki-laki itu membuka kemejanya dan kini hanya mengenakan kaus putih dan celana pendek. Ia benar-benar hendak menyelam ke dasar kolam. Aku melihat ke sekelilingku, takut kalau ternyata kami sedang dijebak. Tapi ada yang lebih penting dari perasaan takut. Aku harus segera keluar dari sini!
 Ia mulai berenang di kolam yang luasnya hampir seukuran aula itu. Aku berteriak padanya, “Apa kau melihatnya?”
Laki-laki itu timbul dari dalam air. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya yang mulai merah kemasukan air. Kulihat kepalanya yang tampak kecil di ujung kolam menggeleng. Ia kembali masuk ke air dan menyelam.
Aku berjalan ke pinggir kolam dengan hati-hati. Aku mulai mendekati Devin yang masih berada di air. Dia pasti tidak sadar aku sudah berada di dekatnya. Saat itu juga aku menceburkan diri ke kolam dan menggapai kepala Devin. Kutahan kepalanya di dalam air. Ia mulai menggapai-gapai badanku hendak menyingkirkan tanganku darinya. Tapi air sudah mulai masuk ke mulut laki-laki malang itu. Setelah pergulatan yang melelahkan, ia akhirnya diam.
Aku muncul di permukaan dengan terbatuk-batuk. Aku ingat aku pernah juara menyelam dulu ketika kuliah. Menyelam tanpa alat selam jauh lebih sulit, tapi aku berhasil lagi kali ini. Aku berjalan dengan menggigil ke arah ruang berkumpul. Aku berhasil, pikirku. Aku akan segera menjadi pegawai Best, bukan lagi anak magang.
Sesaat sebelumnya aku hampir putus asa. Nyaris, kalau saja aku tidak menemukan petunjuk itu. Sebuah tulisan di dekat perapian. The border of your standard is here, Best of you.
Sejak itu, aku tahu ini adalah uji coba yang dilakukan Best. Proyek besar yang sedang kulakukan adalah menguji coba diriku sendiri. Apakah aku pantas masuk Best atau tidak. Cara membuktikannya adalah dengan melampaui batas-batas standar dalam diri ketika dikenakan pada suatu masalah. Menyerah pada keadaan, Best tidak akan pernah menerima staff semacam itu. Aku merasa cukup membuktikannya kepada Best ketika aku tidak lagi memperdulikan ibu dan ayah yang selalu bertengkar hebat di rumah. Best selalu ingin dijadikan nomor satu, maka kujadikan Best sebagai apapun di dunia ini. Bahkan melampaui ibu yang mendukungku untuk masuk ke Best. Kupikir itu sudah cukup, tapi ternyata Best butuh pembuktian lebih.
Untuk bisa keluar dari bangunan ini aku harus membunuh Devin. Itu sudah jelas. Devin sudah terlalu lama berada di dalam bangunan dan seseorang yang terbaik lah yang bisa keluar dari sini.
Aku tiba-tiba dijemput oleh seseorang berjas hitam yang muncul entah dari mana dari dalam rumah. Ia menuntunku ke aula. Tangan orang itu menekan sesuatu di balik air terjun yang menempel di dinding kaca. Seketika sebuah ruangan besar muncul dari baliknya. Itu adalah ruang dengan desain interior yang sama persis dengan kantor Best.
“Wah, wah, Madiva. Kau adalah anak magang kedua yang berhasil setelah Jeehan. Selamat ya,” ujar Roger, Kepala HRD di Best.
Aku hanya diam sambil menahan dinginnya air yang masih membasahi tubuhku yang kuyup. Aku hampir tidak percaya dengan uji coba ini. Mereka semua pasti sudah gila. Dan lebih buruk lagi, aku akan jadi sama gilanya dengan mereka.
“Tapi tentu saja, seharusnya kau tidak usah membunuh si jurnalis itu.”
Aku tercekat mendengarnya.
“Tidak apa-apa. Ini murni kesalahan dari kami, meski tentu saja, bukan dari HRD, tapi dari tim riset kami. Kami tidak pernah memperkirakan akan ada orang yang senekat kau. Tapi kau justru membuktikan pada kami kalau kau sudah melampaui batas standar itu. Sekarang kau sudah resmi menjadi bagian dari Best.” Roger pergi meninggalkanku yang masih kesulitan berpikir.
**
Aku berada di dalam kereta bawah tanah sekarang. Aku teringat pesan Jeehan tadi malam. Kuambil ponselku dan kukatakan padanya di telepon,
“Di antara orang-orang itu, aku tahu kau yang sama warasnya denganku. Aku sudah memutuskan mau menggunakan metode apa untuk proyek ini. Dan aku yakin, tidak akan ada korban lagi kali ini. Tapi aku membutuhkan bantuanmu sebagai pengambil keputusan.”
“Aku setuju. Mari kita akhiri.” Jeehan menutup telepon.
Sebelum ia menutupnya, aku bisa mendengar suara gemuruh di seberang sana. Aku yakin dia telah mengambil keputusan yang tepat. Meledakkan kantor Best beserta bangunan uji coba terkutuk itu. 

0 comments:

Post a Comment