T(F)IRED
Apa yang kau pikirkan tentang Superhero?
Kau pikir menjadi superhero akan semudah itu? Pada kenyataannya superhero yang
selalu membayang-bayangi pikiranmu itu adalah kekonyolan belaka. Sengaja diciptakan segerombolan manusia yang
kurang kerjaan merangkai cerita kehebatan superhero dengan kekuatan-kekuatan
super yang terkadang tidak realistis. Mana mungkin seseorang digigit laba-laba
akan menjadi seseorang yang disebut manusia laba-laba alias spiderman? Lalu tangannya bisa mengeluarkan jaring
laba-laba dengan mudah dan bisa membunuh penjahat dalam sekejab. Bergelantungan
tanpa takut jatuh, dan tentu menarik perhatian wanita cantik karena hal itu.
Ayolah tidak ada hal seajaib itu pada dunia nyata ini.
Aku resmi bergabung dalam pertunjukan
sandiwara milik Paman Ben. Aku selalu menampilkan kemampuan sandiwaraku saat
The Queens mulai berlayar menjauhi daratan dan membawa ribuan pelancong.
Menghibur sebagian dari mereka dengan cerita-cerita heroik dan romantis
superhero lengkap dengan adegan bergelatungan sekaligus menari di atas panggung
yang megah. Dimana seorang manusia laba-laba menyelamatkan seorang wanita yang
ditawan penjahat dengan jaring laba-laba yang seolah-olah muncul tiba-tiba
melalui telapak tangannya. Ayolah, tanpa bantuan tali mana mungkin aku
benar-benar bergelantungan dengan jaring laba-laba.
Sudah kubilang scenario Paman Ben
memang sangat aneh. Uniknya hampir seluruh penonton selalu terpana menyaksikan
pertunjukan itu. Bahkan sudah tahun kelima tak ada perubahan sedikitpun tentang
scenario pertunjukan ini. Selalu sama setiap kali the Queens berlayar. Sungguh
membosankan.
“Kau tahu, kupikir aku akan
berhenti saja menjadi seorang superhero,” ujarku pada Paman Ben saat melepas
lelah di bestcamp usai pertujukan berakhir.
“Kau gila, ayolah tak ada yang
cocok selain kau yang memerankan peran ini,” Paman Ben bersikeras.
“Tentu saja. Itu karena kau tak
pernah mengganti naskah ceritamu.”
“Ayolah, tanpa itu kita tetap masih
menghasilkan uang.”
“Paman, aku ingin…”
“Tidak. Sudah bertahun-tahun The
Queens mempercayai kita untuk menjadi penghibur di sini. Jadi jangan
macam-macam. Jangan sampai hanya gara-gara kau, karirku terancam,”
Sambil meneguk sampanye-nya Paman
Ben bergegas meninggalku setelah uring-uringan rutin yang kami lakukan setiap
pertunjukan selesai. Dia kembali ke ruangan panggung.
Aku akui selalu membahas persoalan
yang sama. Intinya aku ingin behenti jadi aktor sandiwara ini atau naskah “Spiderman”
itu diganti. Namun jawaban sama dari paman membuatku bosan. Jawaban yang justru
mengambarkan sifat pesimisnya itu.
Aku melepas kostum ketat
menyebalkan ini. Mengambil sampanyeku dan meneguknya.
“My-Spidey. Kau sedang apa?” Tiba-tiba
Mary memanggilku. Wajahnya terlihat lelah sama lelahnya denganku seusai
menampilkan sandiwara konyol ini.
“Berhenti memanggilku Spidey, Mary.
Aku muak”
“Panggilan itu cocok untuk laba-laba
seperti dirimu sayang”
“Tidak, terimakasih.”
“Tak perlu berterimakasih. Aku seharusnya yang
berterimakasih karena kau rela bergelantungan menyelamatkanku.”
“Tentu, demi dolar dan tentu bukan
karena kau. Satu lagi, Behenti memanggilku sayang, Spidey atau apalah itu.”
“Hei kau kan pacarku.”
“Hei hentikan sandiwara bodoh itu.
Kita tidak sedang di panggung Mary.”
“Kau seharusnya bilang itu pada
Ben, bukan denganku.”
“Dia keras kepala. Sangat tidak
kreatif.”
“Why?”
“Ini tahun 2019, dan Spiderman
masih bergelantungan dengan jaring laba-labanya itu. Bisakah dia membuat cerita
yang baru?”
“Apa kau berpikir supaya Spiderman
seharusnya memiliki kekuatan berbeda?”
“Yah seperti itu. Aku ingin Spiderman
tak hanya mengandalkan jaring laba-labanya itu.”
“lalu…”
“Lalu apa kau tak berpikir juga
bahwa seharusnya spiderman bisa saja memegang pistol. Kenapa dia harus selalu
bergelantungan? Kenapa dia tak memainkan pistolnya.”
“Ah sudahlah. Jalani saja”
BOOM… suara menggelegar tiba-tiba
memotong pembicaraanku dengan Mary di bestcamp. Suara apa itu. Terdengar dari
arah tepat pada panggung pertunjukan. Paman Ben? Paman Ben sedang disana.
Aku melihat asap mengepul menerobos
celah pintu ruangan panggung itu. Asap putih pekat terlihat jelas mulai memenuhi
ruangan itu. BOOM. Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih besar.
“Suara apa itu Mary? Aku akan
kesana.”
“Tunggu, jangan kesana Petter!”
“Paman Ben disana Mary”
“Mungkin itu hanya…”
Aku tak mendengarkan Mary. Aku
memilih langsung berlari menuju ruangan panggung itu. Siapa yang akan diam saja
melihat asap mengepul hebat dari arah sana ditambah suara yang mengagetkan itu.
Yang kupikirkan hanya Paman Ben. Walau bagaimanapun juga aku tak mau di
kenapa-napa. Aku bis aku bisa kehilangan pekerjaan tanpanya.
Aku mencoba mendobrak pintu ruangan
panggung yang penuh kepulan asap. Menendangnya dengan sekuat tenaga. Oke, ini
murni menggunakan konvesional tubuhku, bukan kekuatan spiderman yang selalu aku
perankan.
Aku tak peduli dengan tanganku yang
sudah babak belur lecet karena kubenturkan pada daun pintu yang sedang ku
dobrak. Kakiku rasanya kram karena terlalu sering menendang pintu itu sekuat
tenaga.
“petter, hentikan!” Mary tiba-tiba
saja berteriak mencegah tindakanku.
“Kau gila, di dalam sana ada orang
Mary,”
“Iya aku tahu Petter, tapi tolong
hentikan aksimu itu dan dengarkan aku,”
“Tidak mary…”
“Stop! Lihatlah! Kau seperti orang
bodoh”
“Bodoh bagaimana?”
“Kau satu-satunya orang yang panik
sekarang. Lihatlah sekelilingmu!”
Mary terus mencoba menghentikan
aksiku. Ia menyuruhku melihat sekeliling. Iya benar, hanya aku yang heboh.
Ratusan tamu pelancong di The Queens yan berkeliaran di sekitar ruangan
panggung ini telihat santai saja melihat kepulan asap ini. Apa yang terjadi?
“Ada apa sebenarnya?”
“Petter… kau pikir Paman Ben
se-dungu itu tak mendengarkan keluhanmu,”
“Maksudmu?”
“Kau harus berkenalan dengan
teman-teman baru kita di dalam sana. Mereka resmi bergabung di pertunjukan
kita,”
“Siapa saja mereka?”
“Tony, Steve, Buck, Scott, dn
Thanos. Kupikir Paman Ben sedang merencanakan membuat scenario baru. Dan mereka
sedang latihan”
“Lalu, bagaimana denganku?”
“Mungkin kau akan di pecat karena
kau lelah sebagai superhero bukan?”
0 comments:
Post a Comment