Detektif Ken: Penangkapan Sang Reaper


Sekitar dua minggu yang lalu, aku mendapat telepon dari atasanku bahwa aku harus dipindahtugaskan ke salah satu kota—yang dirahasiakan namanya—untuk menangani kasus pembunuhan berantai. Sebenarnya menangani kasus pembunuhan berantai memanglah pekerjaanku, tetapi entah mengapa aku merasakan bahwa kasus ini bukanlah kasus yang biasa. Menurut informasi yang aku dapatkan dari kepolisian setempat, si pembunuh selalu memilih korban secara acak. Ia tidak memandang jenis kelamin, usia, ataupun profesi. Padahal aku tahu betul bahwa di dunia ini tidak ada yang sepenuhnya acak, hanya polanya saja yang belum kita tahu. Terlebih lagi hampir setiap kasus pembunuhan berantai selalu saja bahwa para korbannya tidak memiliki keterkaitan sama sekali, namun setelah ditelusuri semua itu ada hubungannya dengan pribadi si pembunuh itu sendiri.

Sudah berhari-hari aku berusaha mengumpulkan informasi mengenai pelaku, namun sampai sekarang aku bahkan belum bisa mengetahui apakah pembunuh ini lelaki atau perempuan. Rupanya si pembunuh ini paham betul bagaimana cara meninggalkan tempat kejadian perkara tanpa meninggalkan bukti. Tetapi tidak dengan korbannya yang ke-23 ini. Ia meninggalkan secarik kertas yang bertuliskan “Aku tahu kau sedang menyelidikiku, K.” Hal ini tentu saja membuatku tertarik sekaligus merinding, karena besar kemungkinannya ia tahu identitas diriku.

“Detektif, kau masih lembur? Sudah berapa hari kau seperti ini? 5 hari?” tanya kepala polisi yang tiba-tiba datang kembali ke markas kepolisian.

“Ya, akhirnya setelah dua minggu target kita meninggalkan pesan. Aku tidak bisa membiarkan tulisan di secarik kertas ini menjadi sia-sia.” jawabku sambil memandangi foto bukti pesan tersebut di layar komputer.

“Bukankah tim forensik sudah mengabarimu? Bahwa pesan itu ditulis oleh korban sesaat sebelum dia dibunuh oleh pelaku.” lanjutnya sambil membuat segelas kopi.

“Meskipun begitu, pesan ini langsung disampaikan oleh si pembunuh kan? Aku bisa saja mengetahui seperti apa kepribadian pembunuh keji ini melalui caranya merangkai kalimat. Bapak sendiri sedang apa malam-malam kembali ke markas?” tanyaku sambil menyandarkan badan ke kursi.

“Beberapa hari yang lalu, seorang wanita datang kemari untuk melaporkan bahwa dirinya telah diperkosa di gang kecil. Namun setelah si pemerkosa hendak melarikan diri, ia dibunuh oleh seseorang yang tidak ia kenal. Dan orang tersebut tiba-tiba pergi tanpa mengatakan apa-apa. Aku hanya berfirasat bahwa orang tersebut adalah orang yang selama ini kita cari.” jawabnya sambil menghabiskan segelas kopinya dengan sekali teguk.

Sesaat setelah Pak kepala mengatakan hal tersebut, aku merasa yakin bahwa perempuan tersebut adalah kunci dari kasus ini. Rasanya seperti menemukan jawaban yang tepat ketika aku sedang mengerjakan soal ujian di sekolah. Aku paham betul bahwa instingku ini sedang berada pada seratus persen benar.

“Nah! Ini dia petunjuk terbesar kita sekarang Pak! Bisakah Bapak berikan alamat dari wanita tersebut?” ujarku penuh semangat.

“Sebenarnya aku hendak mengunjunginya pagi ini, tapi sepertinya kau lebih antusias. Dia sedang berada rumah sakit DAT, temui dia di sana setelah sesi terapinya selesai pada pukul 09:20. Jangan beri dia terlalu banyak pertanyaan, kita tidak tahu kondisi psikisnya seperti apa sekarang. Aku akan mengabarimu jika ada informasi tambahan. Hati-hati di jalan, detektif.” balasnya sambil memasuki ruangannya.

“Baik, Pak!” ujarku sembari beranjak dari tempat dudukku dan bergegas menuju mobilku di parkiran. Untuk sampai di rumah sakit DAT memerlukan waktu sekitar 40 menit dari markas kepolisian, dan sekarang masih pukul 03:55, aku pun memutuskan untuk mampir ke salah satu kedai kopi 24 jam di tengah kota. Sesampainya di sana, aku memesan Cappuccino dan membuka laptopku untuk melihat kembali data-data korban yang telah menjadi target pelaku.

Korban yang diduga adalah korban pertama pelaku merupakan seorang dosen di universitas HKA, yang dikenal sebagai dosen killer di kampusnya. Sepertinya takdir tengah memainkan genre komedi pada kehidupan dosen satu ini. Korban kedua adalah seorang janda beranak dua dan telah menikah sebanyak tiga kali. Tidak banyak diketahui tentang perempuan ini selain hubungan rumah tangganya yang tidak pernah harmonis. Aku pun menelusuri berbagai media sosial korban, dan memang tidak ada keterkaitan apa-apa di antara mereka semua. Ini malah seperti si pembunuh melihat korban dan memutuskan untuk mengambil nyawanya begitu saja.

Setelah sekitar satu jam aku menelusuri profil-profil korban di sosial media, segerombolan anak muda masuk ke kedai kopi. Mereka terlihat seperi sekumpulan mahasiswa yang biasa sarapan dan minum kopi di kedai ini. Terlihat keakraban antara salah satu dari mereka dengan si barista. Tak lama setelahnya, mereka mulai membicarakan mahasiswi-mahasiswi yang ada di kampus mereka.

“Kemarin aku lihat Ara dan Rena berjalan berdua di koridor, kau bisa bayangkan itu? Dua bidadari berjalan berdampingan, mimpi yang benar-benar jadi kenyataan.” kata salah seorang pemuda.

“Kalau Ara sudah pasti dia memang cantik, tapi apa kau belum dengar tentang Rena?” timpal salah seorang temannya.

“Memang ada apa dengan Rena?” tanya temannya yang satu lagi.

“Dia memang cantik, tapi tidak terlalu pintar seperti Ara. Anehnya, dia bisa mendapat nilai-nilai yang bagus, apalagi di mata kuliah dosen killer yang beberapa minggu lalu meninggal. Kata salah satu temannya, Rena itu memang menjalin hubungan gelap dengan si dosen killer. Makanya semenjak beliau digantikan dosen baru, Rena jadi jarang masuk kelas.” jawab si pemuda kedua tadi.

Dosen killer yang baru meninggal? pikirku, ini sudah pasti dosen universitas HKA. Aku pun memutuskan untuk mencoba bertanya ke sekumpulan mahasiswa yang berjumlah empat orang ini. Karena sudah pasti hal ini memiliki hubungan dengan kematiannya.

“Permisi,” ujarku dengan gestur memperkenalkan diri “apa kalian mahasiswa di universitas HKA?” tanyaku sambil duduk di kursi kosong di meja mereka.

“Wah, iya benar. Bagaimana bapak bisa tahu?” tanya si mahasiswa yang barusan membicarakan Rena.

“Maaf saya telah mengganggu dan mendengarkan percakapan kalian, tapi rasanya saya perlu memperkenal diri terlebih dahulu. Nama saya adalah Ken, seorang detektif yang ditugaskan di kota ini beberapa waktu lalu. Kebetulan sekali kasus yang sedang saya tangani adalah kasus pembunuhan yang menimpa salah satu dosen di universitas HKA. Apakah kalian keberatan jika saya tanya beberapa hal tentang beliau?” tanyaku sambil mengeluarkan buku catatan kecil dan sebuah pulpen.

Setelah bertanya beberapa hal kepada para mahasiswa tersebut, dugaanku memang benar adanya. Dosen yang berhubungan dengan salah satu mahasiswinya adalah dosen yang menjadi korban pembunuhan berantai yang sedang kuselidiki. Selain itu, dosen tersebut tidak hanya berhubungan dengan Rena, tetapi beberapa mahasiswi lainnya yang lebih senior dan juga junior dari Rena. Fenomena ini memang sudah tidak jarang terjadi di kampus, tapi untuk seorang dosen bejat berakhir tragis rasanya sangat mengganjal. Bisa saja kematian sang dosen hanyalah pelampiasan amarah salah seorang teman lelaki mahasiswi yang ia pernah tiduri. Karena bukan hal yang aneh kalau di kota ini ada beberapa psikopat yang mampu menyembunyikan bukti pembunuhan.

Namun itu semua tidak menutup firasatku bahwa dosen ini memang benar korban si pembunuh berantai. Dan si pembunuh berantai bisa berperan sebagai pembunuh bayaran agar orang yang memiliki masalah dengan seseorang tidak harus mengotori tangannya sendiri. Di sisi lain aku juga berteori bahwa sebenarnya si pembunuh berantai ini merupakan salah seorang mahasiswa di universitas HKA. Dan bisa saja ia saat ini sedang duduk semeja denganku. Semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa tidak nyaman berada di sekitar kota ini. Seolah-olah si pembunuh itu memang membayang-bayangiku sejak aku dipindahkan ke kota ini.

Untuk memastikan kecemasanku ini, aku pun bertanya kepada para mahasiswa tadi, “Apakah ada yang dari kalian pernah merasa cemburu kepada sang dosen karena ia berhubungan dengan beberapa mahasiswi?” tanyaku dengan nada santai.

“Bapak ini bagaimana, tentu saja banyak yang cemburu karena setiap mahasiswi yang berhubungan dengan dosen itu memiliki banyak pengagum. Jadi bisa saja ia dibunuh oleh salah seorang mahasiswanya, kita juga sudah berspekulasi seperti itu sejak berita kematian beliau muncul di berbagai media. Bahkan bisa saja teman di sebelahku ini pelakunya, ya kan Vid? Hahahaha.” jawab salah seorang mahasiswa sambil menggoda temannya.

“Hei, hentikan itu Ned! Dia itu seorang detektif, jangan bercanda yang tidak-tidak.” katanya sambil memukul pundak temannya, “Maaf kan teman saya ini, detektif. Tapi memang benar, kebanyakan yang berhubungan dengan dosen killer ini adalah mahasiswi cantik yang kurang baik di bidang akademisnya. Soal pembunuhnya ada di kampus kami atau tidak, sepertinya itu hanya urusan polisi dan detektif seperti Bapak.” lanjutnya dengan nada serius.

“Baiklah kalau begitu, terima kasih atas informasinya. Mungkin dengan beberapa temuan baru ini dapat mempercepat penangkapan si pelaku. Ini kartu nama saya, jika ada sesuatu yang berhubungan dengan sang dosen atau apapun, hubungi saja. Kalau begitu saya permisi.” ucapku sambil meninggalkan meja mereka. Aku pun kemudian bergegas ke rumah sakit DAT untuk menemui korban pemerkosaan yang diceritakan oleh Pak Kepala.

Sekitar 20 menit aku meninggalkan kedai kopi tadi, teleponku berdering. Sambil menepikan mobilku ke bahu jalan, aku mengangkat telepon tersebut. “Halo, Detektif Ken, ada yang bisa saya bantu?” ucapku.

“Detektif, periksa saku di sebelah kanan jaketmu. Temui aku di tempat yang tertulis.” jawab si penelepon dan langsung menutupnya.

Setelah mendengarkan hal itu, aku pun langsung mengecek saku kanan jaketku. Dan benar saja ada kertas bertuliskan alamat suatu tempat di dekat universitas HKA. Aku pun menunda permintaan si penelepon misterius itu dan melanjutkan perjalananku ke rumah sakit. Sebenarnya aku tahu siapa penelepon itu, dia salah seorang mahasiswa yang tadi duduk di sebelahku saat di kedai kopi. Tapi tak apa, mungkin ia punya informasi yang tidak ia ingin beberkan di depan teman-temannya.

Waktu menunjukkan pukul 09:11 dan aku telah sampai di parkiran rumah sakit DAT. Ketika aku sedang bertanya ke bagian resepsionis, tiba-tiba aku mendengar suara orang memanggilku.

“Ken? Apa itu benar kau?” ucap seseorang dari arah koridor.

“Iya, apa Anda mengenali saya?” tanyaku kepada orang tersebut. Ia terlihat mengenakan baju dokter.

“Astaga! Ternyata ini benar kau. Masa kau tidak mengenaliku? Ini aku, Hannah, teman SMA dulu.” ujarnya dengan mata berbinar-binar.

“Oh, ya! Aku ingat sekarang, kau yang dulu sering peringkat satu di kelas kan? Wow, hebat ya, sekarang kau sudah jadi dokter.” ucapku sambil mengingat penampilannya saat masih SMA.

Kami pun berbincang-bincang mengenai profesi masing-masing. Bahkan ia pun tak percaya kalau sekarang aku adalah seorang detektif. Ya memang mengejutkan sebenarnya, karena aku tergolong orang yang pendiam saat masih sekolah. Tapi itu semua hanya ada di masa lalu, dan kini aku memiliki kewajiban untuk memberantas kriminal di negara ini. Setelah cukup banyak berbincang, aku pun menanyakan perihal seorang pasien yang Pak Kepala ceritakan padaku. Ia pun langsung mengantarkanku ke depan ruangan seorang psikiater. Ia kemudian pamit untuk melanjutkan pekerjaannya.

Tak lama waktu berselang, seorang wanita keluar dari ruang psikiater tadi. Aku pun segera meminta waktunya untuk menanyakan beberapa pertanyaan sederhana perihal kejadian yang tengah menimpa dirinya tersebut. Berdasarkan keterangan yang aku dapatkan dari wanita tersebut, sosok orang yang membunuh si pemerkosa terlihat seperti seorang pemuda berusia 20-an. Terlepas dari itu semua, wanita tersebut enggan menjawab pertanyaan lain soal si pemerkosa. Dan aku tidak memaksakan dirinya karena aku paham trauma yang tengah dialaminya.

Setelah menyelesaikan urusanku dengan wanita tersebut, aku pun kembali mencari Hannah untuk berpamitan dengannya. Ia kemudian mengatakan ingin sekali untuk menghabiskan waktu lebih lama lagi jika bukan karena pekerjaannya saat ini. Jadi dia memberikan nomer teleponnya padaku dan menyuruhku untuk mengajaknya kencan di akhir pekan. Ya, mungkin sekali-kali kencan tidak buruk untuk seorang detektif.

Setelah meninggalkan rumah sakit, aku pun langsung menuju alamat yang diberikan si penelepon mesterius. Sesampainya di tujuan, aku langsung memasuki bangunan yang rupanya adalah sebuah rumah makan sederhana. Setelah melihat sekeliling, aku mendapati wajah yang tidak asing. Ya, wajah salah satu mahasiswa yang tadi pagi kutemui di kedai kopi. Aku pun langsung duduk di samping mahasiswa tersebut.

“Wah, memang hebat ya seorang detektif itu. Bisa langsung tahu siapa yang telah memberinya teka-teki kecil. Tapi aku juga sudah menduga Bapak akan datang di waktu sekarang. Pasti karena Bapak ada urusan setelah pergi dari kedai kopi kan?” ucapnya sambil menyantap ayam goreng dan sayur sop.

“Sudahlah, tidak perlu basa-basi. Bukan sembarang orang bisa melakukan seperti ini kepada seorang detektif. Apa ceritamu?” balasku mematahkan basa-basinya.

“Kalau ingin langsung ke intinya, mungkin Bapak akan langsung ingin menangkapku. Tapi baiklah, sebenarnya aku yang membunuh pemerkosa wanita yang malang itu.” jawabnya sambil meminum segelas jus alpukat. Ia terlihat begitu tenang untuk mengakui sesuatu yang bagi manusia biasa adalah hal yang mengerikan.

“Kau bercanda kan? Apa kau si pembunuh berantai yang sedang kucari selama ini?” tanyaku dengan perasaan masih tidak percaya.

“Aku tidak sedang bercanda. Tapi sayangnya aku bukanlah pembunuh berantai yang sedang Bapak cari. Walau begitu, aku bisa menuntun Bapak kepada si pembunuh berantai alias Sang Reaper. Karena aku dan dirinya itu sama.” ucapnya dengan gestur yang sangat santai.

“Kau ini cukup gila ya, mengakui tindakan kriminal kepada seorang detektif. Lantas apa yang membuatmu melakukan tindakan tersebut?”

“Sebenarnya ini sudah lama sekali. Bisa dibilang aku punya kekuatan spesial yang tidak dimiliki manusia biasa. Bapak mungkin tidak percaya, tapi aku ini bisa melihat dosa seseorang.” jawabnya sambil menghabiskan sisa ayam goreng.

“Kurasa memang ada yang bermasalah dengan dirimu ini, aku merasa bingung untuk membawa ke penjara atau ke rumah sakit jiwa. Karena kau sudah mengada-ngada dan melakukan tindakan kriminal.” kataku sambil memegang bahunya.

“Ya, aku sudah sering mendengarkan hal itu. Tapi aku akan langsung membeberkan identitas si pembunuh berantai. Mulanya aku juga masih tidak mengetahui kelebihanku ini sampai aku membunuh pemerkosa tersebut. Itu pun bukan pertama kalinya aku menyingkirkan seseorang yang dosanya lebih besar dariku. Tapi kalau detektif bersikeras ingin menangkapku, setidaknya Bapak harus mengantongi dua barang bukti dan seorang saksi kan? Tapi korbannya pun Bapak pasti tidak tahu, jadi tidak ada gunanya menyeretku ke penjara.” ucapnya sambil meremehkan hukum dan juga pekerjaanku. “Kembali lagi kepada kekuatan melihat dosa. Begitu aku menyadari bahwa aku memiliki kemampuan seperti itu, aku pun langsung mencari fenomena ini di internet. Awalnya memang agak sulit, sampai akhirnya aku menemukan forum tentang kemampuan ini. Dan rupanya aku bukanlah satu-satunya yang memiliki kelebihan seperti ini.”

“Jadi maksudmu bahwa si pembunuh berantai ini melakukan tindakannya berdasarkan dosa yang ia lihat dari orang lain?” tanyaku untuk memastikan teoriku ini.

“Ya, benar sekali. Itulah mengapa ia menamai dirinya sendiri Sang Reaper di forum tersebut. Supaya Bapak tidak bingung, forum ini hanya ada di deep web, jadi jangan bayangkan bahwa orang-orang ini sebagai orang yang bodoh. Kembali lagi ke Sang Reaper. Ia menganggap dirinya tengah melakukan pekerjaan malaikat maut sekaligus penghapus dosa di muka bumi. Cukup menggelikan bukan? Tapi itulah orang yang membuat Bapak menyelidikinya sampai berminggu-minggu.”

“Lalu mengapa kau malah menbocorkan identitasnya padaku?”

“Jadi Sang Reaper ingin memutuskan bahwa polisi atau detektif yang tengah menyelidikinya ini pantas menangkapnya atau tidak. Jadi dia memberikan sayembara di forum tersebut untuk mempertemukan dia dengan detektif, yang kebetulan detektif tersebut adalah Bapak.” lanjutnya sambil meminum habis jus alpukatnya.

“Kalau ternyata aku tidak pantas, apa yang akan terjadi?” tanyaku walau sudah tahu jawabannya.

“Ya, dia akan menyingkirkan Bapak.”

“Kalau aku datang membawa bantuan, bagaimana?”

“Hmm, mungkin itu tergantung keputusannya sendiri. Karena dia juga tidak akan datang sendirian.” ucapnya sambil beranjak dari tempat duduk dan menghampiri kasir.

“Baiklah, pertemukan aku dengan dia.” ujarku dengan perasaan agak takut.

Setelah mengatakan hal tersebut, mahasiswa tersebut mengantarkanku ke tempat yang sudah diberitahukan Sang Reaper melalui sayembaranya. Tidak terbayangkan olehku, bahwa pertemuanku dengan si pembunuh berantai tersebut adalah di tempat kedai kopi yang tadi pagi aku datangi. Dan lagi-lagi, wajah yang tidak asing kembali membuatku terkejut setengah mati.

“Hai, Ken.” Sapa seorang perempuan yang tidak aku sangka adalah buruanku selama ini. “Maaf ya, kencannya aku percepat ke hari ini. Soalnya aku sudah tidak sabar untuk menentukan takdirku, hehe.”

“Hannah, kau?!” ucapku dengan nada kesal.

“Mengejutkan, bukan? Harusnya sudah sangat terbaca olehmu, bahwa seorang psikopat biasanya adalah seorang jenius di dunia akademisnya. Dan coba tebak, mahasiswa yang di sebelahmu itu juga menjuarai olimpiade matematika berturut-turut. Itu semua berkat kemampuan spesial yang kami berdua miliki. Kompetitif, logika seorang jenius, dan obsesi yang tinggi membuat kami lebih unggul dari manusia biasa. Terlepas dari semua itu, aku akan langsung menilai apakah dirimu pantas untuk menangkapku atau tidak.” ucapnya sambil mempersilakan aku untuk duduk berhadapan dengannya.

“Hannah, aku mohon jangan lakukan ini. Masih ada jalan yang lebih baik.” pintaku dengan tulus.

“Sudahlah, Ken. Biar Sang Pemberi Kekuatan ini yang memutuskan. Baiklah Alren, sebutkan jumlah dosaku.” ujar Hannah kepada mahasiswa tadi.

“Satu juta… Sembilan ratus empat puluh tujuh ribu… tiga ratus enam puluh satu.” ucap Alren menyebutkan angka yang sepertinya adalah memang jumlah dosa yang dimiliki Hannah.

“Hahaha, cukup banyak ya. Tapi tidak apa-apa, itu sebanding dengan tugas muliaku di dunia ini.” ucap Hannah dengan nada santai. “Dan jumlah dosamu, adalah 9556. Ternyata kau menjalani hidup yang baik ya, Ken. Apakah benar angka yang aku sebutkan ini, Alren?”

“Iya, benar.” jawab mahasiswa itu dengan singkat.

“Lalu apa perjanjian yang ada pada sayembaraku?” tanyanya pada Alren.

“Jika polisi atau detektif yang akan menangkapmu memiliki dosa lebih dari satu persen dosamu, maka orang tersebut tidak pantas untuk hidup. Sedangkan bila orang tersebut memiliki dosa kurang dari satu persen dosamu, maka ia berhak menghukummu dengan hukum yang dibuat manusia.” ucap Alren.

“Ken, selamat ya… Setelah ini pasti kau akan naik jabatan. Tapi kau hanya bisa menangkapku, tidak perlu menyeret Alren dan kawan-kawan lainnya yang juga memiliki kelebihan ini. Karena dunia ini masih memerlukan orang-orang seperti kami. Nah sekarang, silakan borgol tanganku dan bawa aku ke kantor polisi. Barang bukti untuk setiap korban telah aku kumpulkan dengan baik di gudangku. Jadi kau tidak perlu bersusah payah mengumpulkan barang bukti sendiri.”

“Hannah…” ucapku sambil memandangi langit-langit.

“Ada apa, Ken?” jawabnya.

“Apakah mungkin aku bisa memiliki kekuatan itu meskipun aku tidak terlahir dengan kemampuan tersebut?”

Bravo! Kebetulan sekali, komunitas kami telah menemukan sesuatu yang menakjubkan. Bahwa kekuatan ini tertanam bukan di otak si pemilik kekuatan, tetapi ada pada matanya. Jadi dengan mengganti matamu dengan mata salah satu dari kami, kau bisa menjadi bagian dari kami. Wah, aku senang sekali bisa sama sepertimu.” ucapnya sambil memelukku dengan erat.

“Baiklah, lakukan hal tersebut. Kau seorang dokter di rumah sakit DAT karena sedang melakukan uji coba tersebut, kan?”

“Hahaha, hebat sekali detektif yang satu ini. Memangnya dengan kekuatan ini kamu ingin gunakan untuk apa?” tanya Hannah dengan antusias.

“Memburu kriminal tanpa harus bersusah payah. Agar negara ini bisa bersih dari sampah-sampah tak berguna.”

0 comments:

Post a Comment