“Aku Mendakwa Hamka Plagiat”, karya Muhidin M. Dahlan
Seorang
kyai pun tidak luput dari berbuat salah. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau Hamka,
seorang ulama cum sastrawan
terkemuka, pernah didaku sebagai plagiator. Karyanya yang terkenal, “Tenggelamnja Kapal van Der Wijck”
(1938), dianggap jiplakan dari karya sastrawan Mesir, Al-Manfaluthfi, “Magdalena”. Manfaluthfi sendiri
menyadur karya penulis Perancis, Alphonse Karr, “Sous les Tilleuls”. Oleh Pramoedya Ananta Toer (Pram), Hamka
didakwanya plagiat.
Kasus
ini disebut sebagai polemik terbesar kesusastraan Indonesia tahun 1962-1965.
Peperangan antara Pram dengan Hamka menuai pro-kontra. Gus Muh, sapaan sang penulis, melihat bahwa
pada masa itu, para sastrawan terpolarisasi menjadi dua: kubu Lekra dan kubu
Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Kubu Lekra, dipelopori oleh Pram, berusaha “mengoreksi” novel yang diduga jiplakan ini. Sedangkan Manikebu, digaungi oleh HB Jassin,
membela Hamka dengan berbagai alasan.
Berbagai
usaha dilakukan oleh “Lentera” untuk membuat Hamka mengaku. Data dan fakta
disajikan dengan begitu detil. “Tenggelamnja
Kapal van Der Wijck” ditelanjangi dan Hamka "dibantai" habis-habisan.
“Lentera”, lembar kebudayaan dalam surat kabar
Bintang Timur menggugat orisinalitas novel tersebut. Dinakhodai Pram, “Lentera”
berusaha mencari kebenaran atas dugaan kecurangan Hamka. Di bawah bendera Lekra,
raksasa kebudayaan Indonesia kala itu, Pram menabuh genderang perang atas
Hamka.
"Tindak plagiat adalah tindak paling hina dalam kehidupan kebudayaan."
(Bintang Timur, "Lentera", 12 Juli 1964)
Awalnya,
“Tenggelamnja Kapal van Der Wijck”
merupakan cerita bersambung (cerbung). Berjudul serupa, cerbung ini dimuat
dalam majalah Pedoman Masjarakat.
Sehabis dibukukan dan diterbitkan oleh penerbit M. Sjarkawi di Medan, novel tersebut
langsung habis di pasaran. Kata Gus Muh, sapaan Muhidin M. Dahlan, novel itu telah
10 kali dicetak ulang, dengan total oplah sebanyak 80 ribu eksemplar.
Tidak
terlalu banyak memang, bila dibandingkan dengan seri Dilan 1990 yang dilansir Tempo.co, mencapai satu juta eksemplar
oplahnya. Namun, sebut Gus Muh, oplah “Tenggelamnja
Kapal van Der Wijck” termasuk sangat besar bagi karya sastra
prakemerdekaan.
Hamka Di bawah Ketiak
Pendukungnya
Perang
Pram versus Hamka dimulai kala “Lentera” memuat esei-resensi Abdullah SP pada 7
September 1962. Namun, kala itu banyak dugaan bahwa Abdullah SP hanyalah nama
samaran Pram sendiri. Terlepas dari dugaan-dugaan atasnya, Abdullah SP lah orang
yang menggarami luka lama plagiarisme Hamka.
Tuduhan
Abdullah SP bukan asal jeplak. Lewat
perbandingan perbaris dan idea script, ia benar-benar berhasil
meyakinkan pembaca untuk turut menggugat orisinalitas novel Hamka. Lantas apa
yang dilakukan Hamka? Ia tetap tak bersikap, bersembunyi di belakang para
pembelanya: H.B. Jassin, Ali Audah, Goenawan Muhamad, dll.
Setelah
esei-resensi itu terbit, dunia kesusastraan Indonesia heboh. Banyak yang tak
menyangka ulama sekelas Hamka melakukan perbuatan yang menurut “Lentera” merupakan
“keserakahan hewaniah” (hal. 45). Surat-surat pembaca pun berdatangan ke kantor
redaksi Bintang Timur. Diceritakan bahwa banyak bentuk keprihatinan, gugatan,
bahkan sumpah serapah ditujukan para pembaca kepada Hamka.
HB
Jassin mencoba meredakan polemik ini dengan dukungan terhadap Hamka. Gus Muh
menyebut, HB Jassin tak melihat adanya gelagat plagiarisme dalam novel
tersebut. HB Jassin, dalam pengantarnya dalam terjemahan novel Magdalena,
menganggap novel ini merupakan pengalaman pribadi Hamka, dan pengalaman pribadi
masing-masing penulis itu berbeda. Pihaknya juga berkata, perlu dihitung
kesamaan dan dugaan plagiarisme Hamka dalam persentase.
Dengan tegas, Abdullah
SP menyebut bahwa Hamka 95% menjiplak Manfaluthfi. Jassin tidak membalas.
Gus
Muh berpendapat bahwa Jassin plin-plan. Selain berkali-kali berkelit dalam
alibinya sendiri, Jassin, tulis Gus Muh, sampai tidak bisa lagi membedakan makna
jiplakan, terjemahan, dan saduran. Jassin dianggap panik, dan menyangsikan arti
plagiat yang ia tafsiri sendiri dalam bukunya “Tifa Penyair dan
Daerahnya”. Jassin, menurut Gus Muh, telah pilih kasih.
Tak
hanya Jassin, Goenawan Muhammad dan Ali Audah ditampilkan membela Hamka.
Namun, hanya Jassin yang “membabi-buta” membentengi Hamka. Padahal, dalam
ulasan Gus Muh, Jassin hanya berputar-putar dan tenggelam dalam ketidakjelasan
definisinya terhdap makna plagiarisme.
Kelemahan
Gus Muh dalam buku ini adalah tidak secara tegas menyikapi polemik ini. Namun,
Gus Muh secara tersirat menggugat bahwa Hamka telah melakukan tindak
plagiarisme. Hal ini dilihat dari keberimbangan argumen antar kubu. Gus Muh
lebih banyak menuliskan data argumentasi kubu kontra, dan turut mempertanyakan argumen
pendukung Hamka.
Kasus-kasus “Menjijikkan”
Lainnya
Gus
Muh tidak hanya menyajikan polemik Hamka. Ia turut memaparkan skandal
kesusastraan Indonesia terbaru. Salah satunya adalah dugaan plagiarisme yang
dilakukan oleh Seno Gumira Ajidarma (2011). Cerpennya, “Dodolit-Dodolibret” sangat mirip dengan karya cerpenis Rusia, Leo
Tolstoy, “Three Hermits”.
Perbedaan antara keduanya hanya sedikit. Seno hanya mengubah latar belakang tempat, tokoh, dan latar belakang sosial. Namun, kasus ini hanya muncul sebentar, itupun hanya hangat di media sosial Facebook (hal. 213).
Perbedaan antara keduanya hanya sedikit. Seno hanya mengubah latar belakang tempat, tokoh, dan latar belakang sosial. Namun, kasus ini hanya muncul sebentar, itupun hanya hangat di media sosial Facebook (hal. 213).
Gus
Muh menemukan pola yang sama setiap terjadi dugaan plagiarisme. Ia turut
mengritik berbagai kalangan sastrawan yang permisif terhadap dugaan
plagiarisme. Mereka selalu berkutat pada tesis yang sama setiap kasus
plagiarisme muncul: konsensus arti plagiarisme, dan pembelaan kontekstual yang
dibuat-buat.
Muncul
keresahan dalam diri Gus Muh karena hal ini. Kasus-kasus dugaan plagiarisme
tidak pernah ditanggapi secara serius. Kasus-kasus serupa timbul-tenggelam
tanpa jelas penuntasannya. Tidak pernah ada inisiasi di kalangan satrawan untuk
membuat semacam komite sastra nasional, atau mahkamah kesusastraan.
Lambat laun, plagiarisme sastra hanya dianggap sepele, atau kata H.B Jassin, hanya sekadar “pengaruh jang datang dari luar diri siseniman mendjelang seniman itu mendjadi” (hal. 219).
Lambat laun, plagiarisme sastra hanya dianggap sepele, atau kata H.B Jassin, hanya sekadar “pengaruh jang datang dari luar diri siseniman mendjelang seniman itu mendjadi” (hal. 219).
Keuletan
Gus Muh dalam mengoleksi dan mengarsip surat kabar lawas patut diacungi jempol.
Ia mampu menyajikan data yang diperoleh dari surat kabar sejak prakemerdekaan.
Tak hanya menyadur, ia turut memasukkan hasil scan arsipan dalam buku ini; menegaskan keabsahannya.
Bukanlah hal mudah untuk mendapatkan arsip-arsip tersebut. Selain karena selang waktu yang terlampau jauh, arsip yang digunakan merupakan keluaran lembaga terlarang kala itu:—hingga sekarang—Lekra. Afiliasi Lekra dengan PKI membikin produk-produk lembaga tersebut dilarang peredarannya semenjak Gestapu/Gestok 1965.
Bukanlah hal mudah untuk mendapatkan arsip-arsip tersebut. Selain karena selang waktu yang terlampau jauh, arsip yang digunakan merupakan keluaran lembaga terlarang kala itu:—hingga sekarang—Lekra. Afiliasi Lekra dengan PKI membikin produk-produk lembaga tersebut dilarang peredarannya semenjak Gestapu/Gestok 1965.
0 comments:
Post a Comment