Peter 'Si Laba-Laba', Bukan Spiderman Universe



Judul      : Princess of Tales
Penulis   : Jostein Gaarder
Penerbit : Mizan
Halaman : 259 halaman
ISBN      : 978-602-441-095-7
Edisi Ketiga, Cetakan 1, Februari 2019

Mengapa kita harus mengeluarkan banyak uang untuk cerita-cerita bohong?

Mengapa kita rela menghabiskan banyak waktu untuk membaca kisah-kisah fiktif?
Maka Jostein Gaarder akan menjawabnya, " Karena Peter telah membuatkannya untukmu, mengaturmu untuk membacanya dan membuatmu terkesima" 

Princess of Tales mengisahkan tentang kehidupan Peter " Si Laba-laba", si kesepian dan penyendiri. Peter dibesarkan oleh Ibunya. Sejak kecil, Ia harus tinggal terpisah dengan ayahnya. Meski begitu, Peter tak pernah kurang kasih sayang dari ayah dan ibunya. 

Peter dikenal sebagai "Si laba-laba". Ini disebabkan karena Peter meyampaikan cerita tentang laba-laba dan damar di depan kelas. Juga, ketika Ia dewasa "Si laba-laba" makin melekat pada Peter sebab Peter suka mrmbuat cerita dan cerita-cerita itu membuat jaringan seperti benang laba-laba. Jaringan itu adalah Writer's Aid, jalan keluar bagi penulis-penulis putus asa.

Peter pandai mengarang cerita tapi Ia tidak pernah menyangka jika suatu hari Ia akan terjebak dalam cerita karangannya sendiri. Ia tentu tak pernah mengira Panina Manina, seorang putri sirkus akan keluar dari dunia yang Ia buat dan mengajaknya mandi di air terjun. Sayangnya, Ia terlanjur membiarkan gadis itu membangkitkannya sekaligus membunuhnya di waktu yang sama.

Peter, Dilahirkan oleh Posmodernisme

Princess of Tales berlatar kehidupan Peter dari masa Ia anak-anak hingga lanjut usia. Pada pertengahan hingga akhir abad ke-20. Pada masa itu, di Eropa muncul kritik terhadap modernisme yang dianggap gagal. Di saat yang bersamaan pemikiran posmodern keluar kandang dan menyoraki absolutisme kebenaran khas aliran modernisme.

Peter adalah seorang yang spiritualis. Menurutnya, kehidupan pascamodern tidak lebih dari taman bermain. Tidak menjamin kesenangan apapun setelah taman itu tutup. Pun begitu dengan peradaban pascamodern, menurutnya kehidupan seperti itu akan mengeliminasi kehormatan manusia setelah Ia meninggal. Peter tidak setuju dengan itu. 

Peradaban pascamodern memang rumit. Pascamodern menjadikan manusia sebagai pusat kebenaran. Artinya, kebenaran adalah bagaimana manusia itu memaknainya. Hal ini berarti, kebenaran bernilai relatif, tidak mutlak seperti yang ditawarkan agama dan ilmu pengetahuan pada masa sebelumnya. Tapi Peter juga matrialistis. Dualisme sifat manusia yang mungkin kita dapati dalam satu jiwa. Tentu tidak mustahil bagi Gaardner untui membuat tokoh sekacam itu. Peter tidak liyan, kita bisa menemuinya di rumah, sekolah, gedung pemerintahan, di mana-mana. Menurutnya, di antara bangunan-bangunan itu terdapat jembatan yang menghubungkan. Tidak menyatukan tapi menghubungkan. 

Di awal, alur cerita dibangun dengan berat sehingga sulit untuk diikuti dan sedikit membosankan.  Meskipun begitu, Gardner berhasil membangun cerita dengan renyah. Plot dikembangkan dengan kuat. Seperti biasa, cerita diakhiri dengan memukau. Dengan anggun, Gaarner mampu menyeret pembaca untuk menikmati nestapa Peter. Itulah ciri khas dan kekuatan tulisan-tulisan Gaardner selain nilai-nilai cerita yang kaya.

Princess Of Tales menantang kita untuk menyelami kehidupan lebih dalam dan lebih dalam lagi. Saya tidak akan katakan novel ini adalah tulisan yang ringan tapi juga bukan cerita yang berat untuk bacaan filsafat. Saya sarankan untuk tidak membaca karya ini bila usia kalian masih dalam kategori anak-anak. Saya tegaskan ini adalah cerita imajinatif untuk orang dewasa. Di dalamnya berisi konten dewasa meskipun dikemas dengan sopan. Selebihnya, siapapun kalian bacalah ini. Tulisan ini sarat akan nilai kehidupan dan penghidupan.

0 comments:

Post a Comment