Cintanya Bermuara pada Jurnalisme dan Sepak Bola



Gadis berperawakan kurus itu bernama Riri Rahayuningsih. Ia lahir di Kebumen, 28 November 1998 silam. Riri lahir sebagai anak bungsu dari pasangan Sariman dan Sutirah.

Riri kecil tak seperti anak perempuan pada umumnya. Ia tak suka bermain boneka. Terlebih, sang ayah juga tak menuruti stadar umum ihwal memberikan mainan anak. Sang ayah seolah mematahkan stereotip bahwa perempuan bermain boneka dan laki-laki bermain mobil-mobilan. Riri kecil justru disuguhi mainan berupa truk, dan pesawat ataupun helikopter. Riri kecil juga lebih senang bermain sepak bola, kelereng, maupun layangan ketimbang bermain bola bekel seperti kebanyakan anak perempuan.

Karakternya pun sedikit banyak tebentuk dari sana. Ia menjadi perempuan dengan selera yang tak seperti perempuan kebanyakan. Ia lebih senang menonton sepak bola ketimbang drama Korea. Ia lebih percaya diri menggunakan kaos berwarna hitam ketimbang pakaian lucu dengan hiasan renda-renda. Ia tampak berusaha mematahkan standar bahwa perempuan harus “demikian”.

Saat ini Riri menempuh pendidikan di program studi Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Sebelumnya, ia menempuh pendidikan di jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) SMA Negeri 1 Prembun Kebumen. Sedangkan masa sekolah menengah pertama ia lalui di SMP Negeri 1 Prembun dan masa sekolah dasar ia tempuh di SD Negeri Winong. Sementara itu, pendidikan dininya ia awali di TK PGRI Mardisiwi Winong.

Riri kecil bercita-cita menjadi seorang guru. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menemukan apa yang sebenarnya ia mau. Cita-cita menjadi guru hanyalah cita-cita yang ia tuturkan karena minimnya sesuatu yang ia tahu. Lagipula, cita-cita anak SD waktu itu apa lagi jika bukan menjadi guru, dokter, pilot, atau polisi?

Riri remaja lantas bercita-cita menjadi seorang jurnalis. Bukan hal yang tiba-tiba, tapi karena terpancing oleh kebiasaan di rumah untuk menonton berita televisi. Sang ayah memang selalu menuntun Riri untuk menonton acara berita apabila menyalakan pesawat televisi. Bahkan, sang ayah juga seringkali berucap jika ia menginginkan anak bungsunya itu menjadi seorang reporter.

Semasa SMA ia pun mengikuti ekstrakurikuler jurnalistik dan memproduksi majalah yang terbit saban semester. Ia merasa benar-benar cocok. Riri pun mengikuti ekstrakurikuler jurnalistik selama dua tahun.

Di masa itu pula ia mulai mencari tahu jurusan kuliah apa yang  bisa menjembatani cita-citanya menjadi jurnalis. Ternyata, salah satunya jurusan Ilmu Komunikasi. Untuk mengejar cita-citanya kuliah Ilmu Komunikasi, Riri berjuang sekuat tenaga. Terlebih, ia berasal dari jurusan MIPA. Tentu saja, ia harus belajar dari nol untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi program sosial humaniora (soshum). Perjalanannya tak  mudah. Riri baru bisa menembus Ilmu Komunikasi UNY melalui jalur Seleksi Mandiri—semacam jalur terakhir yang jika gagal maka dihadapkan pada dua pilihan: masuk PTS atau menunda waktu kuliah.

Riri sangat bahagia dan bersyukur. Ia merasa seperti bermimpi kala itu. Ia merasa Tuhan begitu menyayanginya dan ia semakin merasa yakin dengan cita-citanya.

Di bangku kuliah, semangat Riri untuk mengejar cita-citanya menjadi jurnalis semakin kencang. Ia pun mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) jurnalistik, ia bergabung bersama Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi. Kurang lebih, selama dua tahun ia belajar di sana.

Tak hanya belajar di LPM Ekspresi, Riri juga melebarkan sayap dengan mencoba belajar ke tempat lain. Tentu saja dalam belajar tulis menulis. Riri mulai mencoba mengirim tulisan ke media lain di luar media Ekspresi.

Semangatnya semakin terbakar ketika tulisannya diterbitkan Fandom.id (media sepak bola) pada April 2017 silam. Ia kemudian merasa ketagihan menulis sepak bola—yang merupakan olahraga kegemarannya. Ia menulis lagi dan meninggalkan dua tulisan dan jejak diri sebagai kontributor di Fandom.id.

Tak puas di Fandom, ia kemudian mengajukan diri sebagai penulis magang di sebuah media komunitas suporter Persebaya Surabaya, emosijiwaku.com. Ia diterima dan menulis di sana. Tak banyak, tapi dari sana ia mendapat banyak ilmu, pengalaman, dan teman baru. Salah satu pengalamannya yang tak terlupakan ialah ketika ia mewawancarai Rahmat  Irianto, pemain Persebaya dan Timnas Indonesia.

Riri tak pernah merasa puas dalam menjajal pengalaman. Di waktu yang hampir bersamaan dengan masa menjadi penulis magang di emosijiwaku.com, Riri juga mengajukan lamaran menjadi penulis lepas di media sepak bola Football Tribe Indonesia (football-tribe.com/Indonesia). Ia kembali beruntung. Ia termasuk dalam lima orang terpilih setelah berhasil mengalahkan ratusan pendaftar lainnya. Catatan menariknya, ia menjadi satu-satunya perempuan yang diterima sebagai penulis lepas di Football Tribe Indonesia kala itu.

Berangkat dari pengalaman itu, Riri merasa yakin bahwa ia bercita-cita menjadi jurnalis sepak bola. Baginya, itu merupakan profesi yang menyenangkan karena ia takkan merasa sedang bekerja melainkan menjalankan hobinya. Ia merasa yakin bahwa ia akan bahagia selama berada di dunia jurnalistik dan sepak bola.


Pelan-pelan Riri juga merintis media sepak bola yang ia dirikan bersama dua kawannya pada awal tahunn 2019. Riri ingin menunjukkan bahwa perempuan bisa terlibat lebih dalam sepak bola. Ia ingin membuktikan bahwa sepak bola bukan olahraga yang hanya digermari kaum adam. Ia juga ingin meyakinkan bahwa perempuan bisa mencintai sepak bola dari dalam hati dan mampu berkontribusi lebih untuknya.

Sekarang, Riri sedang fokus dengan studinya yang sudah sampai pada fase semester 6 yang padat tugas. Di samping itu, ia juga sedang mempersiapkan diri untuk menjadi jurnalis muda di suatu surat kabar harian daerah di Yogyakarta. Harapannya tak banyak, ia hanya ingin semesta mengamini cita-citanya.

0 comments:

Post a Comment