Bangku taman pada kala itu tak pernah
sekalipun ia akan melupakan kisahnya. Lelaki berwajah teduh dengan senyum menawan yang mampu mengguncangkan hati hanya dengan hitungan detik. Sesaat ketika tatapan mata
kedua insan ini beradu. Kesan itu hanya sekilas, namun sangat membekas.
Membuatnya luluh dan tak berdaya.
“Kita terlalu
lama merangkai mimpi yang musykil. Merasakan kita ikut berpadu dalam putarannya dan karam
bersama segala harapan yang telah kita genggam erat, lalu menikmatinya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang nyata
adanya. Padahal hanyalah hampa. Namun tak ada apa-apa,”kata lelaki itu dengan nada pelan.
“Kamu masih
menganggapnya itu bukanlah realita?,” tukas perempuan itu sengit. Wajahnya
terlihat memerah menahan amarah.
“Bukan begitu. Kita kini hanyalah menuai mimpi yang
sesungguhnya tak kunjung pasti dan memaknainya secara sepihak tanpa pernah peduli apakah itu
benar atau tidak,”sahutnya datar. Lelaki itu kemudian menghela nafas panjang.
“Kamu egois!.
Kamu tak bisa membaca isyarat samar yang selalu aku sampaikan lewat
desau angin, bayang-bayang, rintik hujan, embun pagi yang menetes didedaunan
bahkan semua senyum
yang selalu kupersembahkan
untukmu setiap paginya. Semua itu tanpa berhenti !,” cetus perempuan itu dengan nada tinggi.
Lelaki itu hanya angkat bahu. Tampak tidak peduli.
“Sesungguhnya,
kita terlalu menganggap semuanya telah
tepat berada di tempat yang seharusnya. Padahal
sebenarnya tidak. Kita terlalu lama berpura-pura untuk hal yang semu dan
membangun asumsi bahwa segalanya telah
berjalan sebagaimana mestinya. Sudahlah aku harus
pergi. Dan memang seharusnya begitu
sejak tadi,” kata lelaki itu dengan nada getir lalu
mematikan handphonenya. Ia kemudian beranjak dari kursi.
Sementara itu,
tepat dibelakang punggung sang lelaki, pada kursi yang berbeda dan dengan sisi
yang berlawanan, perempuan itu terdiam dengan handphone yang masih melekat
ditelinga. Perlahan airmata menetes di tebing pipinya.
Digenggamnya
erat handphone tersebut dan bibirnya berbisik lirih, “Aku akan tetap mencintaimu, sampai kapanpun nanti”
0 comments:
Post a Comment