Patjar Merah, Hidupkan Gudang Mati dengan Literasi

Festival kecil literasi dan pasar buku Patjar Merah digelar beberapa hari yang lalu di Yogyakarta tepatnya di Jalan Gedong Kuning No. 118, Kotagede, Yogyakarta. Acara tersebut berlangsung sejak 2 Maret 2019 hingga 10 Maret 2019. Berlokasi di bekas gudang tidak terpakai di daerah Gedong Kuning, acara ini tidak lain bertujuan untuk mengembangkan literasi dimana saja termasuk di sebuah gudang.

Patjar Merah menghadirkan sejumlah narasumber ternama untuk meliterasi selama 9 hari dengan beragam tema. Tak hanya kegiatan meliterasi, acara ini pun menggelar lokakarya seperti penulisan kreatif, fotografi, membangun personal branding, menulis dan berbicara, dan penulisan skrip film. Acara yang juga merupakan pasar buku ini menghadirkan buku-buku dari para penerbit mayor maupun indie di Indonesia. Dalam postingan akun instagram @patjarmerah_id, terdapat 8000 judul atau sejuta buku yang dipasarkan dengan potongan harga sebesar 30%-80%. Buku-buku ini pun dikelompokkan ke dalam beberapa kategori diantaranya sosial politik, buku anak, bahasa, kesehatan, keterampilan, motivasi dan bisnis, novel, masakan, dan parenting.

Kamis, 7 Maret 2019 lalu, saya berkunjung ke Patjar Merah untuk mengikuti salah satu pembahasan menarik di gudang mati tersebut. Patjar Merah mengundang 3 narasumber dalam sesi Obrolan Patjar yang bercerita tentang Kisah Tanah Jawa. Ketiganya merupakan tim penulis buku Kisah Tanah Jawa terbitan Gagas Media, yaitu Hari Hao, Bonaventura Genta, dan Mada Zidan. Selama Obrolan Patjar berlangsung, pengunjung terlihat sangat ramai berkerumun sehingga menutupi ketiga narasumber. Ketiga narasumber berbagi kisah mengenai fenomena kesurupan, stigma benda-benda kramat atau magis, dan filosofi sesaji. Tak hanya bercerita, mereka pun memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk bertanya. Banyak dari pengunjung yang tertarik untuk bertanya dan diantaranya mengajukan pertanyaan seputar keganjilan-keganjilan yang pernah mereka alami untuk ditelaah oleh tim Kisah Tanah Jawa. Obrolan berlangsung cukup seru dan menarik pengunjung untuk ikut mendengarkan dengan seksama dan berinteraksi langsung dengan mengajukan pertanyaan.


Pengunjung memadati area perbincangan yang diisi tim Kisah Tanah Jawa
Sembari mendengarkan obrolan, saya pun berkeliling melihat-lihat buku pameran. Saya tertarik dengan dekorasi yang digunakan di Patjar Merah sejak menginjakkan kaki pertama kali. Seperti namanya, warna dominan yang diaplikasikan di acara ini adalah merah. Dari depan gudang, terpampang papan besar berwarna merah sebagai gerbang Patjar Merah yang megah. Memasuki area gudang, terdapat tempat penitipan barang di sebelah kiri dan kasir di sebelah kanan. Terdapat pajangan merchandise Patjar Merah yang bisa dibeli pengunjung di area depan. Ada pula spot foto yang disediakan backdrop untuk memfasilitasi pengunjung yang ingin mengambil gambar. Terdapat pula kipas angin blower di beberapa titik untuk memberikan kesegaran kepada pengunjung yang kegerahan selama berada di dalam gudang yang cukup pengap tersebut. Meja display buku diletakkan dengan berurutan dan berdekatan dengan sesama kategorinya sehingga memudahkan pengunjung untuk mencari buku.

Di langit-langit tergantung kertas-kertas berbentuk pita besar yang bertuliskan kutipan dari orang-orang ternama. Awalnya saya terkesan dengan pita besar tersebut, namun karena jumlahnya yang begitu banyak bergantungan, lama-kelamaan saya merasa tengah berada di sebuah tempat perbelanjaan diskonan yang menggantungkan informasi potongan-potongan harga. Tempat bisa dikatakan bersih dan tidak terlihat sampah-sampah di dalam gudang sebab pengunjung dilarang membawa makanan beserta minuman. Pengunjung yang membawa tas juga harus menitipkan bawaannya di penitipan barang sebelum memasuki gudang. Sayangnya, area yang digunakan untuk perbincangan malam itu sangat padat dan kurang luas. Kursi yang disediakan untuk pengunjung duduk pun kurang karena banyaknya peserta. Pengunjung yang menonton perbincangan harus berdiri berkerumun melingkari narasumber sampai mengambil area display.

Buku-buku yang dipamerkan sangat beragam dan tidak banyak saya jumpai di toko buku besar di Yogyakarta. Beberapa yang menarik adalah spot-spot buku indie yang memang menjadi bintang utama dalam panggung pasar ini. Ada pula paket buku seharga Rp70.000 yang cukup menggiurkan para Patjarboekoe, sebutan untuk pengunjung Patjar Merah. Harga yang ditawarkan beragam mulai dari Rp10.000, Rp40.000, hingga kisaran ratusan ribu. Buku-buku pameran tersebut terhitung murah karena sudah mendapat potongan yang cukup banyak, contohnya saja pada buku yang saya beli dengan harga Rp15.000. Saya juga menemukan buku terjemahan Dracula karya Bram Stoker seharga Rp40.000 yang biasanya dijual seharga Rp100.000. Di toko buku besar, sulit sekali untuk mendapat buku dengan harga semurah itu. Lain lagi dengan buku-buku indie yang justru harganya bisa dikatakan standar. Pada acara ini, buku indie memang mendapatkan pasarnya sehingga kesempatan tersebut tentunya dimanfaatkan untuk menjual dengan harga yang tidak merugikan.

Tidak hanya orang dewasa yang menjadi pengunjung acara ini, namun juga ada anak-anak. Inilah yang saya sukai dari pameran buku Patjar Merah yakni terdapat spot buku anak. Para orang dewasa yang berkunjung tidak hanya bisa membawa anak ke acara ini untuk sekedar melihat-lihat bahkan bisa mengajak anak untuk mengenalkan buku sejak usia dini.

Keunikan dari acara ini adalah siapa saja bisa mendapatkan ilmu bahkan jika mereka tidak membeli buku pamerannya sekali pun. Pengunjung yang datang tinggal memilih agenda yang ingin mereka ikuti. Cukup dengan membayar tiket parkir, pengunjung bisa ikut mendengarkan narasumber-narasumber berbincang dan berbagi ilmu. Jika ingin ikut menghasilkan karya, pengunjung tinggal mendaftarkan diri terlebih dahulu. Yang ditawarkan oleh Patjar Merah memang sangat menggiurkan dari segi ekonomi, hobi, maupun pengetahuan. Dari segi ekonomi, obrolan yang digelar tidak mematok harga kepada pengunjung sehingga pengunjung tidak berpenghasilan pun masih bisa mengikuti agenda yang ditawarkan. Tema yang diangkat pun beragam dan digemari banyak golongan dengan menghadirkan narasumber ternama yang juga menarik sehingga dapat memenuhi hobi pengunjung. Tak perlu diragukan lagi bahwa acara ini sedikit banyaknya sudah menyebarkan ilmu dan pengetahuan kepada pengunjung lewat perbincangannya yang menarik juga informatif.

Acara ini kurang lebihnya sudah menjadi warna baru bagi festival literasi dan pasar buku di Yogyakarta dengan menggelar kegiatan literasi yang asik lewat perbincangan-perbincangan dengan tema yang mengikuti zaman. Indonesia khususnya Yogyakarta perlu lebih banyak kegiatan bermanfaat seperti ini. Selain memberikan pasar kepada industri penerbitan Indonesia, kehausan masyarakat akan informasi dan pengetahuan pun dapat terpenuhi.  Literasi bagaikan darah yang memberi kehidupan pada gudang mati dan Patjar Merah telah berhasil membuatnya hidup selama 9 hari. (Ayw)

0 comments:

Post a Comment