Lapangan Belakang Sekolah




Sore itu Yoga tiduran di sofa ruang tamu. Matanya menatap jam dinding yang menunjukan pukul 4 sore lebih sedikit. Dahinya mengkerut, matanya tak sedetikpun berpaling dari jam dinding. Sambil tangannya memegang sebuah bola sepak.
“ah. Telat banget sih,” gumamnya
Yoga memang sedang menunggu temannya yang setiap sore selalu datang menghampiri untuk main di lapangan belakang sekolah. Untuk anak SD kelas 5 seperti Yoga memang waktu yang paling ditunggu adalah waktu bermain bersama teman – temannya. Hari ini harusnya jadwal main bola lawan anak – anak kampung sebelah. Mereka sudah janjian untuk datang ke lapangan jam setengah 4 sore.
 Rutinitas Yoga setiap harinya selalu sama, pagi berangkat sekolah sampai jam 12 siang, pulang kerumah lalu makan siang di lanjut dengan tidur siang sampai jam 3 sore, lalu jam setengah 4 sore main di lapangan belakang sekolah sampai jam setengah 6 sore tepat sebelum adzan maghrib berkumandang. Jadwal tersebut diawasi ketat oleh kedua orang tuannya. Apalagi untuk masalah jam pulang main. “jangan pulang telat!!! Harus sudah pulang sebelum maghrib!!” kata – kata itu yang selalu keluar dari mulut Ibunya ketika Yoga berpamitan untuk main.
Yoga sudah semakin bosan menunggu. Ia mulai curiga, apa jangan – jangan temannya itu ketiduran?. Tiba – tiba terdengar suara memanggil dari luar rumah.
“yogaaaaa... yogaaaa... ayo maiiiin..”
Yoga segera secepat mungkin bangkit dari sofa dan berlari menuju pintu depan rumah. Ternyata suara panggilan tersebut datang dari Sigit teman sebangkunya di sekolah. Sigit lah yang Yoga tunggu – tunggu kedatangannya dari tadi. Tanpa Sigit, Yoga pasti malas untuk main.      
“kok lama banget sih git?!” tanya Yoga sedikit kesal.
“heheh.. maap maap, tadi aku kebablasan tidurnya. Yaudah ayo, kita pasti udah ditunggu” jawab Sigit
“Yaudah ayo. Bentar, aku pamit sama ibu dulu”
dengan nada sedikit berteriak Yoga pamit kepada ibunya yang sedang menonton tv di ruang tengah.
“BUU.. YOGA PERGI MAIN SAMA SIGIT DULU YA”
“Ya nak.. ati ati, pulang sebelum maghrib loh ya” jawab ibunya dari ruang tengah sambil menonton tv. Tanpa ibunya sadari, Yoga sebenarnya suadah pergi tanpa menunggu jawaban dari ibunya.
---
Benar saja, di lapangan sudah lengkap anak – anak dari kampung sebelah dan teman – teman Yoga berkumpul sambul duduk – duduk. Walaupun mereka akan bertanding bola, sebenarnya Yoga beserta teman - temannya tidak benar – benar bermusuhan dengan anak – anak dari kampung sebelah. Tapi mereka juga tidak begitu berteman, karena sekolah mereka berbeda. Yoga dan teman – temannya mau untuk diajak main bola karena anak – anak dari kampung sebelah itu adalah anak – anak orang kaya, dan mereka janji jika mereka kalah mereka akan mentraktir es krim untuk Yoga dan teman – temannya.
“lama banget sih kalian datangnya? Udah jam 4 lebih loh ini” kata salah satu temannya yang sudah menunggu lumayan lama.
“ini loh, sigit malah ketiduran tadi dia” jawab Yoga dengan nada menyalahkan sigit.
“heheh iya, maap ya” kata sigit
“yaudah, langsung aja, keburu soe.. nih bolannya” Yoga lalu melemparkan bola ke arah temannya itu.
---
Pertandingan masih berjalan imbang, mereka bermain sampai lupa waktu. Terdengar suara adzan maghrib. Ditengah permainan:
“udahan yuk, udah maghrib nih” kata sigit kepada yang lainnya dengan nada sedikit berteriak
“nanggung, masih imbang. Satu gol lagi lah” jawab salah satu anak
Mendengar itu, Yoga tersadar. Ia tidak mau dimarahi oleh ibunya karena telat pulang saat sampai rumah nanti. Yoga langsung merbut bola, lalu dengan sekuat tenaga ia menendang bola ke arah gawang lawan. Sayang bukannya gol, bola itu malah menuju ke balik pohon beringin besar yang ada pinggir lapangan.
“waah... jelek banget tendangan mu, jangan emosi gitu lah nendangnya” kata sigit sedikit mengejek
“waaaduuh... bentar, ku ambil dulu.. tungguin, jangan ditinggal” kata Yoga sambil berlari menuju balik pohon beringin.
"iya.. udah sana cepetan" kata anak yang lain 
Anehnya, Yoga tidak menemukan bolannya. Padahal ia yakin, bolanya mendarat tidak jauh dari pohon beringin ini. Yang yoga lihat hanya tanah kosong dan ada rumah kuno yang sangat besar. Namun Yoga tidak memikirkan itu semua, yang ia pikirkan kenapa bolanya seakan hilang ditelan bumi. Sibuk mencari bola, yoga tidak sadar menabrak seorang laki – laki.
“aduh maap mas, ngga lihat” ucap Yoga kepada laki – laki itu. laki – laki itu masih muda, mungkin umurnya 17 tahun?.
“aduh, kamu nggak apa apa? Lagi nyari apa?” tanyanya ramah
“nyari bola mas, tadi ke arah sini, mas lihat?”
“bola? Ngga ada deh kayaknya”
Yoga mulai cemas, karena itu adalah bola satu – satunya yang ia miliki. Kalau sampai hilang, Yoga dan teman – temannya tidak bisa main bola lagi.
Melihat ekspresi Yoga yang kebingungan, laki – laki itu menawarkan bantuan.
“Aku punya bola sih, tapi di rumah.. kalo adek mau, ayo ambil di rumah.”
Yoga hanya mengangguk tanda setuju. “baik sekali orang ini” bisik yoga dalam hati.
Yoga dan lelaki itu berjalan menuju rumah besar tapi terlihat kuno itu, dalam hati Yoga berfikir “kok aku nggak pernah tau ada rumah ini ya? Walaupun aku nggak pernah ke balik pohon beringin, tapi harusnya rumah ini kelihatan dari lapangan dong?”. Belum sempat pertanyaan – pertanyaan itu terjawab di otaknya, mereka sudah sampai di depan teras rumah. Terlihat seorang ibu – ibu sedang duduk di kursi teras.
“Loh, kamu bawa siapa itu?” tanya ibu itu ke pada lelaki yang bersama yoga.
 “ini, tadi dia masih nyari bola di dekat pohon beringin, tapi bolanya ngga ada.. daripada dia bingung ini mau ku kasih bola bekas yang ada di loteng aja” jawab lelaki itu
“ooh.. yaudah, masuk dulu, suruh anak itu tunggu di ruang tamu aja, nanti ibu buatin susu buat dia” balas sang ibu.
Yoga hanya diam saja, tidak tau harus berbuat apa. Tanpa rasa curiga yang berlebih, Ia duduk di kursi ruang tamu. Laki – laki itu naik ke atas tangga, sedangkan sang ibu berjalan menuju dapur. Rumah itu seperti bangunan zaman belanda dengan jendelanya yang besar – besar. Sebenarnya rumah itu tidak terlalu megah dan mewah, tapi cukup luas dan memiliki dua lantai.        
Sang ibu kembali dengan membawa segelas susu putih hangat. Disuguhkannya susu itu ke yoga lalu sang ibu ikut duduk di kursi.
“Nama kamu siapa?” tanya ibu itu
“Yoga, bu” jawab yoga dengan agak sedikit canggung
“Kamu tadi main dimana kok sampai bolanya hilang?”
“Tadi aku main bola sama temen – temen di lapangan belakang sekolah SD situ, ini temen – temen pasti masih nunggu di lapangan”
“Lapangan belakang Sekolah SD?” tanya ibu itu dengan nada yang serius
“Iya, SD 02 Surodadi yang ada di balik pohon beringin besar itu”  
“Astaga..” seketika ekspresi sang ibu bingung, takut, cemas, khawatir.
Dengan segera sang ibu merebut gelas susu yang Yoga genggam, baru saja akan yoga minum. Dengan raut muka yang serius, ibu itu menggenggam kedua pundak Yoga sambil berkata
“Dengar, saat aku bilang ‘sekarang’ maka kamu harus lari sekuat tenaga ke arah yang berlawanan dengan arah kamu kesini tadi. Jangan pikirkan apapun, Jangan ambil benda apapun sampai kamu ada di dalam rumahmu. Jangan sekalipun lihat kebelakang, lari saja sekuat tenagamu”
“Sekarang! Lari!”
 Yoga dengan spontan berlari ke luar rumah itu. raut wajahnya ketakutan dan kebingungan. Keringatnya mengucur deras
Sang lelaki turun dari tangga, ia membawa sebuah bola sepak di tangannya. Namun ia mendapati hanya ada ibu disana, si anak sudah pergi.
“loh, anak tadi kemana perginya bu?” tanya lelaki itu
“dia sudah pergi, dia bukan berasal dari sini. Untungnya tadi dia tidak sempat meminum susu ini” kata sang ibu menjelaskan.
---
Yoga berlari sekencang mungkin, anehnya pohon beringin itu terasa sangat jauh dan semakin jauh dari pandangan. Ia tidak bisa berfikir apa – apa, yang ada di otaknya adalah lari sekencang mungkin. Akhirnya, ia berhasil sampai di balik pohon beringin. Ia merasa sangat lega ia sudah sampai di lapangan belakang sekolah. Tapi, teman – temannya sudah tidak ada disitu. “apa mereka pergi sholat maghrib dulu ya?” pikirmya.
Yoga pun berjalan pulang ke rumahnya. ia merasa aneh kerena setiap orang yang ia temui di jalan menatapnya dengan tatapan terheran dan kebingungan. Tapi yoga tidak memikirkan itu semua. Bayangan tentang laki laki dan sang ibu itu masih menghantui pikirannya.     
Sesampainya di rumah, sebenarnya ia sangat takut akan dimarahi ibunya karena pulang sangat telat. Tapi sudahlah, Yoga sudah pasrah dan menerima hukuman apapun yang akan diberikan ibunya. Yoga mengetuk pintu rumah, terdengar suara langkah kaki dari dalam. Pintu terbuka, terlihat ibu Yoga berdiri di depan pintu. Tapi, ibunya terlihat sangat berbeda, “sejak kapan ibu pakai kacamata dan punya uban? Wajahnya juga terlihat sedikit keriput ” pikir Yoga terheran.
Ibu Yoga langsung menangis melihat Yoga. Ia menatap dengan tatapan seakan tidak percaya. Ia langsung memeluk erat Yoga seperti seorang ibu yang sudah tidak bertemu dengan anaknya selama berahun – tahun. Dalam pikirannya Yoga bertanya pada dirinya sendiri “astaga.. sudah berapa lama aku pergi?”.
-Tamat  
 

0 comments:

Post a Comment