Gambar dari IMDb |
Film ini sudah menarik dari judulnya. Saya
mengira akan diceritakan bagaimana orang kulit hitam menuju kemerdekaan yang
haqiqi. Saya cukup antusias, berharap akan banyak tokoh dan sejarah baru
tentang kulit hitam di seluruh dunia yang belum pernah diceritakan di sekolah
dulu.
Perkiraan saya salah besar. Film ini sama
sekali bukan film tentang sejarah orang kulit hitam. Film ini hanya mengangkat
ras Afro-Amerika, warga Amerika serikat imigran dari/keturunan imigran benua
afrika. Pemilihan judul tidak tepat. Seharusnya diambil judul demikian: “Kevin
Hart’s Guide to African-American History” atau "Kevin
Hart's Guide to American Black History". Tentu kekecewaan saya tidak
akan cepat-cepat muncul.
Selama satu jam tiga menit, penonton akan
disuguhi dialog antara Kevin Hart, komedian ternama AS, dengan Saniyya Sidney
yang berperan sebagai anaknya (Riley). Akting mereka berdua—bisa dibilang—kaku
dan kagok. Kevin dan Sidney seperti bukan berakting sebagai ayah dan anak,
namun guru dan murid.
Saya akui, saya suka pada guyonan receh
Kevin Hart dalam film ini. Beberapa kali saya dibuat tersenyum dengan dialog
Kevin dengan aktor yang lain. Hanya tersenyum. Saya malah tertawa saat
melihat scene pemeran Matthew Henson dan Robert Peary tentang
klaim atas orang yang pertama kali tiba di kutub utara. Sangat dianjurkan untuk
tidak melewatkan scene ini.
Ada pula komedi lain yang membuat saya
tertawa. Terjadi plot twist saat muncul tokoh Robert Johnson,
musisi blues ternama yang merupakan kulit hitam. Ia
diceritakan meraih kesuksesan karena telah menjual jiwanya pada iblis. Maka
dimunculkan momen tatkala Johnson bertemu dengan Iblis dan hendak melakukan
transaksi.
Pada scene ini, iblis
yang seharusnya memberikan petuah kesuksesan kepada Robert malah diajarinya
bermain gitar. Ternyata iblis ini bukan benar-benar seekor iblis, namun manusia
guru les gitar yang sedang melakukan promosi. Menurut saya ini lucu, selain
antara keduanya yang mengundang tawa saya.
Film ini menawarkan gaya baru dalam
mengejawantahkan sejarah. Konsep “wayang orang” dalam pewayangan jawa
diadaptasi oleh Tom Stern, sang sutradara. Ia memakai aktor untuk memeragakan
jalan cerita secara jenaka. Selain wayang, sejarah tokoh dituangkan pula lewat
boneka jari, atau animasi sederhana. Konsep edukasi sejarah ini unik di tengah
arus utama deskripsi sejarah lewat film drama—yang kerap kali—tidak ramah anak.
Yang jadi perhatian saya adalah adegan
pembuka film. Riley, anak Kevin yang masih kecil, dan kawannya menonton sebuah
film dewasa. Film “12 Years A Slavery” yang mereka berdua tonton mendapat
rating “R” oleh lembaga sensor film AS. Ini mengusik benak saya. Bagaimana bisa
anak kecil mendapat akses terhadap film dewasa? Pun latar waktu pada scene ini
adalah siang hari. Sehingga, kecil kemungkinan bagi stasiun tv untuk
menayangkan konten dewasa.
Atau, Riley mendapat kaset yang berisi
film ini dari lemari Kevin. Bila demikian, keteledoran orangtua dalam memfilter
tontonan anak dalam film ini patut dikritisi. Bukan sebuah teladan yang baik
bagi anak maupun bagi orang tua yang menonton.
Salut untuk Tom Stern, karena bisa
menyampaikan fakta sejarah dari sisi kulit hitam. Apalagi, banyak tokoh yang
sebelumnya jarang/tidak pernah ditampilkan di media massa namun diekspose dalam
film ini. Saya pun baru tahu bila ada orang yang bisa bepergian dalam kotak
kayu—tanpa sepengetahuan keamanan. Setahu saya hal semacam itu hanya terjadi di
film kartun.
Keberimbangan gender yang ditokohkan juga
perlu untuk diapresiasi. Sutradara tidak hanya menayangkan tokoh laki-laki,
tapi juga perempuan, pun dengan porsi yang sama. Terlebih lagi, Tom menyajikan
fakta sejarah tanpa diglorifikasi secara berlebih.
Misalnya pada scene ketika
Mae Jamison, antariksawati kulit hitam pertama mendaftarkan diri ke NASA.
Diceritakan bahwa Jamison menelepon NASA berulang kali sampai mereka lelah
menolaknya melulu. Akhirnya, Jamison berhasil mengikuti seleksi, dan mampu
menjelajah luar angkasa lewat pesawat ulang-alik “Endeavour” pada 1992.
Tidak ada usaha yang spesial dari Jamison,
dan hanya itu yang ditampilkan oleh Stern. Cukup baik bila dibandingkan dengan
film Rambo, seorang prajurit AS yang digambarkan tidak bisa mati meski digempur
artileri tentara Vietnam. Terkesan dibuat-buat.
Selebihnya, film ini sukses menawarkan
gaya baru dalam menceritakan sejarah, meskipun eksekusinya belum maksimal.
0 comments:
Post a Comment