Harap Cemas


Lambat laun umur pasti digerogoti waktu. Selembar kertas undangan dari teman lama mulai bertebaran di sudut meja.

“Aduh siapa lagi selanjutnya?” keluh pria tinggi berpakaian rapi dalam hati.

Pijakan kaki mulai melangkah bergantian membawa sang pria seorang diri. Ratusan manusia telah berkerumun asik di satu lokasi. Dari ratusan mata rasanya tak ada satupun yang Ia kenali.

“Ketemu! Akhirnya mata ini berhasil mengenali sepasang mata,” sontaknya seraya mendekat.

Seperti belum pernah saling tatap namun hati ini sudah ingin menetap. Diantara ingar bingar hanya ada satu pasang yang bersinar. Mereka pun langsung berjabat tangan, tangan gemetar, hati pun berdebar-debar. Tak lupa mereka juga saling mengenal dan bertukar nomor.

“Nanti silahkan hubungi saya sebelum jam sepuluh malam” ujar perempuan berambut ikal panjang itu. “I..iyaa pasti” jawab pria itu masih dengan segala kegugupannya.

Sepanjang jalan Ia masih tergila-gila. Masih sendiri tapi tidak lagi merasa sepi. Senyum pun juga sendiri.

“Aku harus memberikan kesan pertama yang terbaik” percakapannya dengan cermin.

Berbagai macam nada mayor sampai minor diperagakan. Rambut disisir terus menerus seperti akan saling tatap. Padahal nyatanya hanya berjumpa melalui telepon genggam. Hanya suara yang nantinya akan didengar.

Berpuluh kali kontak perempuan tadi dibuka tutup seperti toples. Tak sabar ingin berbicara namun juga dirundung rasa gugup yang berlebihan. Setelah cukup tenang, dipencetlah tombol hijau.

Deg..deg.. jantung sepertinya sudah mau copot. Halusinasi mulai menjadi-jadi. Harap cemas Ia membayangkan akan mendapat ucapan selamat tidur malam ini.

Sebuah suara akhirnya mulai terdengar.  Nafas sudah sesering mungkin distabilkan.

Tulalit…
Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau diluar harapan. Cobalah kapan-kapan lagi.

1 comment: