Terlahir sebagai orang biasa, lantas
tak menjadikan hidupnya serba biasa. Ia ingin berbeda dengan anak muda kebanyakan.
Ia pun memutuskan untuk pergi keluar dari zona nyamannya dan merantau untuk memperoleh
pendidikan tinggi di Yogyakarta.
Perkenalkan, ia adalah Destri Ananda.
Ia lahir di Jakarta 20 tahun silam, tepatnya pada 15 Desember 1998. Nanda,
begitulah nama panggilan kecilnya yang masih ia gunakan hingga sekarang. Namun teman-temannya
di sekolah terbiasa memanggilnya Destri. Destri lahir dari keluarga yang
sederhana, tak berlebihan namun tak pula kekurangan. Baginya itu cukup.
Destri adalah anak bungsu dari tiga
bersaudara. Ia lahir dari pasangan Hermawan dan Jamilah. Ayahnya, Hermawan, merupakan
seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah rumah sakit pemerintah di wilayah
Jakarta Pusat. Sedang Ibunya, Jamilah, merupakan seorang Ibu Rumah Tangga yang
sehari-harinya tinggal dirumah.
Sedari kecil Destri tumbuh di wilayah pinggiran
ibu kota di mana sehari-harinya penuh hiruk pikuk perkotaan. Destri tinggal di
Tangerang Selatan, sebuah kota di pinggiran Jakarta Selatan yang masih masuk ke
dalam provinsi Banten. Dari kecil hingga tumbuh besar, Destri hanya hidup di
lingkup wilayah Tangerang Selatan tanpa tahu kehidupan di wilayah lain. Ia pun begitu
memimpikan hidup dengan suasana hijau asri nan tentram pada sebuah pedesaan.
Sejak berusia 6 tahun, Destri bersekolah
di MI Soebono Mantofani. Ia bersekolah
mulai tahun 2004 sampai lulus di tahun 2010. Setelah itu, Destri melanjutkan sekolah
menengah di MTs Negeri 2 Pamulang. Ketika mendekati hari kelulusan, Destri
berkeinginan untuk melanjutkan sekolah di salah satu Madrasah Aliyah Negeri di
Jakarta, namun keinginan itu pupus lantaran ia telat ketika melakukan
pendaftaran.
Destri pun mendaftarkan diri di beberapa
SMA negeri ternama di wilayah Tangerang Selatan. Tibalah hari pengumuman, ia
dinyatakan lolos di SMA Negeri 9 Tangerang Selatan. Ia pun bersyukur dan gembira
layaknya soda karena diterima di sekolah negeri, walaupun sebenarnya bukan sekolah
tersebut yang ia idamkan.
Masa SMA Destri berlalu seperti orang
biasa pada umumnya, tak ada yang istimewa baginya. Ia pun mendambakan kehidupan
baru diluar rutinitasnya kini. Ia berharap dapat melanjutkan pendidikan
berikutnya di luar wilayah Jabodetabek yang jauh dari jangkauan orang tua.
Menjelang Ujian Nasional, Destri pun
mulai gemar mencari informasi mengenai perguruan tinggi negeri di luar
daerahnya–Tangerang Selatan. Ia pun memilih dua nama perguruan tinggi pada Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Ketika hari diumumkannya hasil
SNMPTN, dengan berat hati ia harus menerima kegagalan yang pahit.
Hari pun berlalu, kini ia memiliki
motivasi kuat dan terus berjuang untuk hidup yang ia dambakan di perantauan. Ia
pun mendaftarkan diri pada Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi (SBMPTN). Setiap
hari, ia berjuang dengan belajar keras dan melahap berbagai soal SBMPTN
bertahun-tahun silam. Antara yakin dan tidak akan berhasil, Destri pun pasrah
dan berserah diri apabila dirinya akan menemui kegagalan lagi.
Tibalah waktunya tes, Destri harus
mempersiapkan diri dari pagi buta untuk berangkat menuju lokasi yang nan jauh
disana. Sialnya, terlampau banyak kendala yang mendampingi perjalanannya menuju
lokasi tes SBMPTN. Mulai dari kereta yang berhenti lama (a.k.a ngadat), angkot yang ngetemnya kelamaan,
sampai lalu lalang kemacetan yang begitu padat. Sampailah ia di lokasi dan
rupanya ia terlambat. Dengan tergesa-gesa, Destri harus menaiki tangga menuju
lantai lima untuk masuk ke ruangan dan melaksanakan tes SBMPTN. Baru saja ia
duduk di kursi, seketika ujian pun dimulai.
Waktu pengumuman SBMPTN pun tiba,
setelah perjuangan panjangnya nan berliku-liku, Destri pasrah dan telah
merencanakan dengan detil apabila ia gagal untuk kedua kalinya. Ia telah
meminta izin kepada orang tuanya untuk mendaftarkan diri pada tes mandiri di beberapa
universitas negeri di wilayah Yogyakarta. Entah mengapa, baginya Yogyakarta
begitu istimewa di hati sehingga ia berpikir harus bisa menetap disini dan
menuntut ilmu.
Ketika ia membuka situs pengumuman, rasa
deg-degan menyergap. Destri tak menduga apabila lolos dan di terima pada salah
satu Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta. Akhirnya perjuangannya membuahkan
hasil. Ungkapan rasa syukur pun tak ada habisnya ia utarakan.
Keputusan merantaunya sudah bulat, ia pun
bergegas menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan. Destri benar-benar merasa
antusias dan menggebu-gebu. Di perantauan, Ia berharap dapat hidup mandiri
seutuhnya tanpa bergantung dengan orang lain. Di perantauan pula, ia berpikir
dapat hidup bebas atas dirinya sendiri. Destri dapat fokus belajar dan begaul
dengan berbagai teman baru yang berasal dari berbagai daerah pula. Mereka juga
berjuang hidup di perantauan, seperti halnya Destri.
Hingga kini, Destri merasa tak pernah
menyesali keputusannya untuk merantau. Baginya perantauan merupakan tempatnya
berproses atas segala perjuangannya menuju kesuksesan. Ia berharap bila perantauan
kelak mengajarkan arti kehidupan sesungguhnya💛.
0 comments:
Post a Comment