Matahari telah melewati puncaknya saat Norman, Pemimpin Badan Semi Otonom (BSO) yang rupanya baru saja terpilih bersama "Tuan-Tuan" Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi lainnya membentuk setengah lingkaran di salah satu sudut lantai 3 gedung Student Center FIS UNY. Siang itu, tidak pernah dibicarakan sebelumnya bahwa pertemuan yang semula diagendakan untuk membicarakan ihwal jual-beli kaktus berubah menjadi tawar-menawar pengurus BSO. Dalam waktu yang singkat tanpa pertimbangan yang panjang, Maulidya Alhidayah akhirnya menyetujui posisinya sebagai Kepala Divisi Jurnalistik BSO. Tidak banyak yang bisa diketahui dari rasionalisasi peristiwa itu sebetulnya.
Cukup mengejutkan bagi beberapa pihak mengetahui Maul, begitu Ia kerap disapa bergabung dengan organisasi formal dengan berbagai aturan yang mengikat. Maul dikenal sebagai orang yang tidak mudah diatur, Ia seenaknya sendiri. Sekarang, Ia harus mengatur divisi yang dipegangnya. Ia tidak suka dengan tanggung-jawab dan kewajiban-kewajiban yang membuatnya laiknya sapi yang diikat di batang pohon. Ia adalah air yang bebas mengalir kapan saja juga angin yang bisa bertiup kemanapun Ia mau. Tapi Ia juga mencintai jurnalistiik. Bila Ia harus diibaratkan sapi, maka kebenaran seharusnya rumput yang membuatnya selalu hidup dan jurnalistik adalah padang rumput yang luas. Ia hanya mencintai yang benar.
Kebenaran bisa kita akui hanya bila kita memahami. Pemahaman bisa kita dapakan melalui pengetahuan. Dan pengetahuan bisa kita peroleh salah satunya dari bacaan. Begitu pikirnya. Maul kecil sangat suka membaca. Ini berkat ibunya yang sering mengajaknya ke toko buku dan membelikannya buku macam-macam hingga mengajaknya mengunjungi perpustakaan. Ibunya juga sering menceritakannya berbagai hal terkait bacaan kesukaannya. Di umurnya yang ke-sepuluh, Maul telah banyak mendengar dari Sang Ibu ulasan sastra penulis favoritnya, Sultan Takdir Alisjaahbana (STA). Meskipun sebenarnya Ia tidak pernah membaca karya STA sama sekali.
Maul lahir dari orangtua lintas budaya Jawa-Melayu. Ibunya, Subardilah, adalah Jogja tulen sedangkan ayahnya, Deki Ya'ali, adalah Melayu Asli. Perbedaan budaya kedua orang-tuanya membuat Maul harus belajar menghargai perbedaan sejak dini. Bahkan, setiap lebaran tiba Ia harus memutuskan dari jauh-jauh hari apakah Ia akan salat Idul Fitri bersama Ibunnya yang Muhamadiyah atau ayahnya yang NU. Maklum, seringkali lebaran mereka berbeda hari.
Maul lahir dan tumbuh di Tangerang, Kota kecil di pinggiran ibukota yang sesak dengan hiruk-pikuk industri. Maul lahir pada 08 Februari 1999 saat kedamaian antar umat berbudaya baru saja dibangun kembali. Tangerang memang pernah mati saat masyarakat yang pluralis mulai menyalahi identitas yang liyan. Seolah-olah lupa bahwa Tangerang sudah tidak lagi homogen.
Perkenalannya dengan jurnalistik bermula ketika Ibunya sering menceritakan pada Maul menegenai kegemarannya mengirim tulisan ke koran lokal. Di waktu yang berbeda, ayahanya mengatakan pada Maul bahwa jurnalis adalah profesi yang keren. Maul tidak serta-merta mengakuinya. Barulah Ia tertarik dengan jurnalistik setelah melihat Geng Cinta dalam film Ada Apa Dengan Cinta. Setelah itu, Ia memutuskan untuk bergabung dengan klub jurnalistik di sekolahnya disamping kegiatannya sebagai pesilat pada saat itu.
Bila buku adalah jendela dunia maka dunia adalah dunia. Jurnalistik membuka pikirannya bahwa dunua lebih luas dari halaman buku. Kecintaannya makin bertambah dengan dunia jurnalistik ketika salah seorang temannya mengajak bergabung dengan komunitas reporter muda bentukkan media lokal. Rahma, yang kini menjabat sebagai Pimpinan Redaksi Psikomedia Psikologi UGM mengajaknya mengikuti open recruitment komunitas Kaca, Kedaulatan Rakyat. Maul sangat antusias mengikuti kegiatan yang dilakukan di Kaca Kedaulatan Rakyat. Dari kegiatannya di Kaca, Maul belajar memahami orang lain dan suatu peristiwa dengan lebih jujur.
Memasuki bangku perkuliahan, Maul memutuskan untuk memilih jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Keputusannya ini sempat disayangkan banyak orang karena mereka menduga Maul mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang matang dan terkesan main-main. Memang. Tapi Maul tidak mau mengubah pilihannya. Terlebih orangtuanya tidak mendukung Maul menjadi astronot dan hijrah ke Bandung. Memilih jurusan Ilmu Komunikasi bagi Maul adalah bentuk perlawanan.
Lambat laun, Maul mulai merasa kerasan di jurusan ilmu komunikasi dan benar-benar bersemangat untuk mendalami ekosistem media. Sebenarnya, Maul juga sudah tergabung dengan pers mahasiswa, Ekspresi pada saat itu. Maul tertarik untuk memahami perilaku dan pola kerja media. Bila di Kampus Ia belajar untuk membangun idealis dan kerangka berpikir yang teoritis, maka di Ekspresi Maul belajar menerapkannya dengan realistis.
Melalui Ekspresi yang disebut Maul sebagai laboratoriumnya itu, Maul menemukan pola yang menarik terhadap mekanisme kerja persma. Banyak dari mereka yang menganggap bahwa kegiatan pers hanya sebatas menulis dan mencari data. Kekuatan wacana memang sumber penghidupan pers. Meski begitu, penting bagi jurnalis nuntuk dapat membaca ekosistem pers. Agar, wacana tidak hanya berhenti saat tulisan itu diterbitkan. Wacana harus terus berjalan di antara pembicaraan publik.
Membaca ekosistem pers termasuk juga memahami bila persoalan pers bukan hanya "kiri" atau "kanan". Bentuk hegemoni terhadap pers bahkan bisa berupa masalah sesederhana "besok bisa makan atau tidak". Jangan sampai masalah seremeh ini justru bisa menggantikan kepentinan publik dalam praktik representasinya di media itu. Sayangnya, hal ini tidak banyak diperhatikan di Ekspresi sekaligus membuat Maul semakin bersemangat untuk memahami ekosistem media.
Maul menyadari bila padang rumput kesuakaanya itu gersang. Begitulah ekosistem media massa sekarang menurutnya. Sarat akan kepentingan ekonomi, politik, dan teknologi yang saling tumpang-tindih. Padahal, menurut Maul ketiganya seharusnya saling mendukung untuk menciptakan ekosistem media yang ideal. Media bukan hanya sebagai intitusi bisnis. terpenting adalah media dapat berperan sebagai institusi sosial yang mengedepankan kepentingan publik. Hal ini tentu bisa terwujud bila media menjadi hegemoni dari pusaran kuasa.
Ekosistem yang terlanjur carut-marut itu bukan berarti tidak bisa diperbaiki. Kita bisa mengurainya dari tatanan yang paling kecil, begitu pikir Maul. Oleh sebab itulah, Maul melibatkan diri di divisi perusahaan Ekspresi. Ia berharap dengan keterlibatannya di situ, Maul bisa memperbaikinya meski hanya sebesar biji zarah. Yang terpenting adalah kemauan itu sudah diusahakan.
Pada saat Ia semester empat, pada tahun 2018, Ilmu Komunikasi sedang bersiap-siap untuk diadakannya perhelatan pesta demokrasi di level jurusan. Tahun itu bisa dibilang tahun yang "ramai" dibanding tahun-tahun sebelumnya. Aris Prasetya adalah orang yang akhirnya terpilih sebagai ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Himkom) pada saat itu. Tidak berlangsung lama setelah dibentuknya inti Himakom, Norman meminta Maul untuk menjdi Kepala Bidang (Kabid) BSO Jurnalistik. Tawaran yang sebenarnya tidak pernah menarik Maul sama-sekali.
Di jurusan dimana Maul menemukan habitatnya, Maul justru tidak merasa ada ekosistem yang ideal bagi padang-rumputnya itu untuk tumbuh. Ia merasa semangat pers justru tidak ditemukan di situ.
Perubahan yang Ia bilang bisa dilakukan di level terkecil seharusnya dilakukan sekarang. Perbaikan tidak pernah terjadi bila Maul hanya menyarankan dan menunggu orang lain untuk mengubahnya. Maka, Maul mengiyakan tawaran teman-temannya.
0 comments:
Post a Comment