Hidup ala Kaum Stoic Solusi Mengatasi Emosi Negatif di Era Milenial









Judul                              : Filosofi Teras
Pengarang                     : Henry Manampiring
Penerbit                         : Buku Kompas
Tempat Terbit                 : Jakarta
Tahun Terbit                   : 2019
Jumlah Halaman            : 320 Halaman
ISBN                               : 978-602-412-518-9
Harga                             : Rp.98.000,00


Apakah kamu sering merasa khawatir akan banyak hal? Baperan?susah move on? mudah tersinggung dan marah-marah di sosial media maupun dunia nyata? 
Filosofi teras solusinya.

Generasi milenial merupakan generasi yang akrab dengan dunia digital. Di lain sisi adanya kedekatan mereka dengan dunia digital, pola interaksi pun semakin tidak bersekat. Adanya keleluasaan dalam melakukan interaksi yang tak bersekat tersebut memunculkan permasalahan-permasalahan di berbagai sisi, yang kian  mewarnai kehidupan di era yang serba digital saat ini.

Misalnya saat pagi hari ketika keluar rumah menuju tempat bekerja, kampus ataupun  saat ke sekolah kita harus berperang menembus kemacetan jalanan. Belum lagi konten yang ditampilkan di berbagai platform media saat ini, yang isinya perbedaan opini, perbedaan pandangan politik hingga iklan-iklan yang membombardir diri kita dan masih banyak keributan lainnya. Begitu banyak konten yang memicu adanya depresi dan tekanan dalam diri kita.

Filosofi teras disebut sebagai salah satu solusi yang relevan dengan kehidupan dan permasalahan era milenial. Lalu apakah yang dimaksud dengan stoisisme atau filosofi teras ini? Kenapa bisa dianggap sebagai salah satu cara yang relevan dalam menyembuhkan depresi, mudah stres, dan gampang marah di era milenial ini?

Asal muasal filsafat ini di Athena masa Yunani kuno 300 tahun sebelum Masehi  atau 2300 tahun yang lalu, Zeno seorang pelopor filsafat stoa  yang kerap mengajar filsafat di teras berpilar yang dalam bahasa Yunani disebut dengan stoa.  Sedangkan dalam versi indonesia  stoa menjadi filosofi teras. Ketika menyebut filsafat Yunani Kuno mungkin akan timbul di benak kita nama-nama Aristoteles, Sokrates, dan Plato. Zeno mungkin  termasuk daftar nama yang cukup asing. Selain itu filsafat  yang terkesan sebagai ilmu yang abstrak, rumit dan mengawang-awang, seringkali memicu pertanyaan apakah cocok untuk menjawab penyakit akut di era milenial saat ini?

Perbedaan mendasar filsafat stoa dengan cabang filsafat lain justru pada sifat praktisnya. Di Yunani Kuno filsafat ini lahir di masa peperangan dan krisis. Meskipun kita tidak sedang mengalami perang fisik  dengan bangsa manapun, namun saat ini banyak dari kita yang sedang berperang di media sosial. Berdebat, saling beda pendapat, menyebar Hoax bahkan bullying sudah menjadi kerjaan sehari-hari.

Tidak berhenti sampai disitu, seringkali kita dilanda stres akibat menemui kemacetan jalanan, istirahat kurang, quality time dengan keluarga kurang. Belum lagi menghadapi permasalahan ekonomi akibat naiknya harga kebutuhan pokok, sementara gaji tidak ikut naik. Lain cerita dari sisi mahasiswa keadaannya tak lebih baik. Stres mengerjakan skripsi, tekanan orangtua untuk mengejar nilai, sampai persoalan pribadi dengan teman atau pacar. Di dunia maya masalahnya juga tak kalah pelik. Melihat media sosial teman yang isinya makan enak,liburan kemana-mana, punya barang baru dan lain sebagainya juga dapat memicu  depresi. Hingga membandingkan hidupnya dengan orang lain, sampai merasa bahwa hidupnya tak lebih bahagia dari orang lain.  

Dalam buku ini diutarakan solusi pada semua permasalahan tersebut.  Epictetus, salah satu pelopor stoisisme mengatakan bahwa : “Ada hal-hal di bawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak tergantung) kita.” Maksudnya apabila kita fokus pada apa saja yang dapat kita kendalikan maka kita akan merasa bahagia, sedangkan asal rasa tidak bahagia justru muncul dari hal-hal yang kita rasa bisa (di bawah kendali) kita, padahal tidak.

Istilah sekarang mungkin yang disebut dengan ekspektasi tak sesuai realita. Kalau kita mengharapkan sesuatu  yang tidak berada  di bawah kendali kita secara berlebihan,  berarti siaplah untuk  menghadapi kekecewaan.

Selain itu di dalam buku ini juga dijabarkan tentang apa saja yang berada di bawah kendali kita dan apa yang tidak berada di bawah kendali kita. Hal yang tidak berada di bawah kendali kita seperti kondisi saat kita lahir, etnis, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Lalu ada pula yang kita pikir ada di bawah kendali kita ternyata bukan. Seperti reputasi, kekayaan, kesehatan daan lain sebagainya. Kita dapat berupaya untuk hidup sehat ataupun kaya raya namun tak dapat menjamin kita bisa sehat dan kaya raya selamanya.Karena hal tersebut bukan berada di bawah kendali kita.

Sedangkan untuk hal yang berada di bawah kendali kita ialah pemikiran,opini kita, interpretasi, tindakan dan perkataan. Hal-hal yang berada di bawah kendali kita itulah yang seharusnya kita kendalikan untuk hal yang lebih baik dalam kehidupan kita. Dalam stoa, menggantungkan kebahagiaan pada  hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan tidak rasional.
Seperti contohnya ketika terjebak kemacetan di jalanan, marah-marah tidak ada gunanya. Karena kemarahan tidak membuat kita keluar dari kemacetan. Sebelum mengenal Stoa Henry Manapiring sering kali merasa kesal dan marah setiap terjebak kemacetan. Namun kini  di tengah kemacetan ia bisa mengisi waktu dengan membaca e-book ataupun sedikit membereskan pekerjaan kantor.

Meskipun Stoisisme sering disalah artikan dengan pasrah pada keadaan. Pembahasan mengenai hal-hal yang berada di bawah kendali kita dan hal-hal yang tidak berada di bawah kendali kita bukan berarti pasrah menerima keadaan. Menerima keadaan atas apa-apa yang tidak bisa kita kendalikan tidak sama dengan bersikap pasrah.  Karena dengan mengetahui poin penting yang memang seharusnya kita kendalikan justru membuat kita fokus pada hal yang seharusnya di lakukan.

Pada akhirnya, buku ini ialah salah satu cara untuk mengenal dan mempraktekkan langsung Stoisisme alias filosofi teras. Tidak hanya membahas tentang ajaran filsafatnya dengan kehidupan sekarang, Henry Manampiring juga menyajikan wawancara dengan psikiater, psikolog anak dan beberapa orang yang telah mempraktekkan stoisisme. Pembahasan yang di sampaikan oleh para tokoh memperkaya bahasan dalam buku ini.
Sayangnya ada beberapa istilah yang kurang dijelaskan secara detail sehingga pembaca harus mencari sendiri untuk mengetahui arti dari istilah yang digunakan. Namun adanya kekurangan tersebut tertutupi oleh gaya bertutur Henry yang mudah dipahami, akan membuat pembaca enggan meletakkan buku sebelum menyelesaikannya.

Pembahasan tentang stoisisme yang dikupas secara bertahap juga menjadi salah satu hal yang mempermudah pemahaman pembaca, dari pembahasan dari yang sederhana hingga yang rumit. Mulai dari media sosial hingga masalah kematian.Terdapat pula ilustrasi menarik yang mengambarkan pembahasan dan pemberian warna pada setiap kutipan membuat buku ini terhindar dari beban buku filsafat yang seringkali terkesan sebagai bacaan yang berat. Poin  tambahan lainnya di setiap ulasan dibahas pula intisari dari setiap babnya.

Oleh: Dewi Ambarwati/16419141038
Ilmu Komunikasi

0 comments:

Post a Comment