Surga di Telapak Kaki Gunung Lawu



Fenomena unik di Gunung Lawu dari Kabupaten Karanganyar (8/3).

          Setiap perjalanan pasti memiliki maknanya masing-masing. Jarak jauh maupun dekat bukanlah sebuah permasalahan. Bagiku, setiap perjalanan punya jalan cerita yang istimewa. Mengunjungi tempat baru, bertemu orang baru, selalu menghasilkan goresan tinta baru dalam skenario kehidupan. Pengalaman itu pasti, bonusnya hanya bagi mereka yang beruntung.

        Matahari masih malu untuk menampakkan diri. Jam dinding masih menunjukan pukul 05.00 WIB pagi. Kami pun bergegas untuk segera berangkat sebelum didahului oleh sang mentari. Butuh waktu sekitar empat jam dari Kota Yogyakarta untuk tiba ke tempat tujuan. Keinginanku berkunjung ke salah satu wisata andalan Kabupaten Karanganyar akhirnya terwujud juga.

      Tepatnya di kaki gunung lawu, terdapat salah satu candi berundak peninggalan hindu yang dinamakan Candi Cetho. Suguhan romantisme alam hutan hujan tropis sebelum tiba di lokasi ini berhasil memanjakan setiap mata yang melihatnya. Bagaimana tidak, suguhan hijaunya perkebunan dan birunya gunung membuatku lupa sejenak akan padatnya aktivitas perkuliahanku. Namun pada tulisan kali ini, saya tidak membahas mengenai sejarah maupun makna di setiap relief candi layaknya sejarawan handal.

       Selepas puas mengelilingi setiap sudut candi, kami pun memutuskan untuk bersantai di salah satu rumah teh yang dibuka mulai dari pukul 10.00 hingga 19.00 WIB. Apabila berkunjung ke Karanganyar, jangan lupa untuk mampir ke rumah teh Ndoro Donker. Kedai tersebut terletak di Jalan Karangpandan-Ngargoyoso, Puntukrejo, Kabupaten Karanganyar. Dilihat dari letaknya, rumah teh ini dikelilingi oleh hamparan perkebunan teh. Maka tak heran apabila suhu di kaki gunung lawu ini terbilang sangat adem dan asri. Sangat cocok digunakan sebagai pelarian sementara dari bisingnya suasana perkotaan.

Seduhan secangkir teh hangat Ndoro Donker diantara dinginnya suasana perkebunan (8/3).

     Berbagai macam jenis seduhan teh segar dipetik langsung dari perkebunan sekitar. Mulai dari white tea, ocha tea, raja tea dan puluhan sajian teh tersedia di kedai ini. Harga satu cangkir tehnya pun terbilang masih terjangkau, berkisar antara 10.000 sampai dengan 30.000 saja. Tak hanya minuman saja, berbagai sajian makanan ringan maupun berat juga disediakan sebagai pelengkapnya.

   Kenikmatan menyeruput secangkir teh dengan suguhan luasnya perkebunan, menciptakan ketenangan bagi setiap pengunjung yang datang. Apalagi ditemani oleh alunan musik jazz yang membuat kami lupa waktu. Ingin sekali rasanya berlama-lama di tempat ini, namun kami harus segera bergegas pulang.

     Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, keberuntungan terlukiskan pada tinta perjalananku kali ini. Terang sudah mulai berganti menjadi petang. Kami pun mulai menjauh dari candi dan rumah teh. Langit sudah mulai dihiasi oleh warna oranye. Namun, ada suatu hal yang menarik dari pandangan kami. Senja bukan sekedar senja pada umumnya. Terlihat gumpalan awan menyerupai topi raksasa di atas puncak Gunung Lawu. Subhanallah, betapa indah ciptaan-Nya.

      Tak lama kemudian, para netizen pun menggemparkan media sosial. Fenomena unik pada 8 Maret lalu, memang merupakan peristiwa yang tidak biasa. Tidak sekedar awan putih, gumpalan awan tersebut memancarkan warna orange keunguan. Pantulan sinar senja sore pada awan itu seakan menjemput sang mentari agar beristirahat sejenak. Terima kasih Gunung Lawu, indahnya kesan yang kau berikan di tengah perpisahan kami.



Satu goresan tinta cerita,

Chika Amazella Subekti

0 comments:

Post a Comment