Suatu saat di era modern, hiduplah empat mahasiswa yang menempuh pendidikan tingginya di Universitas Negeri Yogyakarta. Masing-masing memiliki latar belakang dan pemikiran yang berbeda-beda. Ada Sukri, seorang yang kritis, mencintai ilmu pengetahuan dan wawasan baru. Ira, seorang pecinta lingkungan yang berasal dari keluarga berada. Adapula ahli SKS (Sistem Kebut Semalam) Dodi yang agak pemalas tapi suka hal yang efisien. Tidak lupa Tiara, seorang yang baik hati, rajin, namun menyimpan sarkasme dalam tiap dialognya. Mereka sama-sama mengambil jurusan Ilmu Komunikasi, dan kebetulan lagi, mereka sama-sama mengambil mata kuliah Penulisan Jurnalistik yang jumlahnya 3 SKS itu.
(Suara bel berdering, menandakan akhir perkuliahan di UNY, Tiara dan Dodi
Tiara: Ah, akhirnya ya kuliahnya selesai. Selamat mengerjakan tugasnya ya kawan-kawan, hihi. (Nada mengejek)
Dodi: Berisik kau! Huuh! Dasar dosen satu ini, masa tiap pertemuan menulis, sih! Memangnya kami anak Komunikasi hanya mengambil mata kuliah Penulisan Jurnalistik apa! (Sambil mengerut muka)
Tiara: Hehh sudah lah, Di. Kan dia dosennya. Kamu sebagai mahasiswa bisa apa? hihihi.
Dodi: Hahhh masa tidak ada sih platform pengaduan dosenn!
Tiara: Halahh sudahlah kerjakan saja. Lagipula aku yakin kau hanya malas, hihi. Kalaupun memang ada platform pengaduan dosen, apa bukti konkret untuk kita bahwa hal yang kita adukan ditangani? Aku yakin itu hanya formalitas biasa sebagai bukti bahwa kampus ini terbuka terhadap kritik dan saran.
Dodi: (Tertawa kecil) Ada-ada saja mulutmu itu ya, Ti. Memang pedas.
Tiara: Mungkin ini bakat, Di. hihi
Dodi: Bakat yang unik memang. Ayo kita ke kantin sambil menunggu Sukri.
Tiara: Yuk!
(Mereka pun berjalan dan duduk di kursi kantin yang ramai, dilengkapi dengan aroma berbagai rokok para mahasiswa pecinta tembakau, dicampur dengan bau masakan-masakan para penjual)
Tiara: Aduh, duduknya disana aja deh, Di. Biar agak jauh dari asap-asap aktivis ini.
Dodi: Iya, iya. Dasar bawel. Tapi kenapa asap aktivis, Ri? (Tertawa)
Tiara: Ya kan mereka biasanya senang disini sehabis kampus, hihi.
Dodi: Ah sok tahu! Mereka tuh senangnya di warung kopi, berdiskusi atau main pabji hingga fajar hari!
Tiara: Iya deh yang suka nongkrong malam, aku mah apa anak kos jam 9 tepat harus sudah dikamar.
(Dodi dan Tiara duduk di seberang kantin, Sukri pun mendatangi mereka)]
Sukri: Eh, Dodi, Tiara. Duduknya jauh amat.
Dodi: Biasa, Tiara sensitif sama asap aktivis
Tiara: Hihi, begitulah.
Sukri: (Tertawa) Kenapa asap aktivis, by the way menurut kalian bagaimana dosen Penulisan Jurnalistik?
Dodi: Ah ini. Kau membuka kesempatan untuk menghujat, Di. Dosa lho.
Sukri: Aku kan cuma tanya, dan mungkin saja kalian sepikiran denganku.
Tiara: Memangnya menurutmu bagaimana, Kri? Hihi.
Sukri: Ya, aku kecewa dengan beliau. Aku kan kuliah untuk menambah wawasanku, bukan simulasi buruh media.
Dodi: Haha, dasar kau. Tapi aku setuju di bagian simulasi buruh, kita masa harus menulis tiap pertemuan. Lagipula, memangnya ia mau membaca ratusan tulisan itu?
Sukri: Iya sih. Tapi ada yang lebih parah dari itu, Di. Ia tidak memberi wawasan sama sekali di kelas. Jadi ya hanya tanya perkembangan tulisan, sudah atau belum dikerjakan. Jadi ya hanya tugas yang dibahas, apa yang harus dikerjakan dan bagaimana prosesnya.
Tiara: Hihi, betul juga sih, Kri. Mungkin beliau memang punya agenda tertentu, positive thinking dong.
Sukri: Tapi, Ti, secara sejarah, universitas diciptakan untuk mencetak intelektual, bukan buruh perusahaan. Menurutku dengan caranya yang seperti itu, kita telah disiapkan untuk menjadi buruh perusahaan belaka.
Dodi: Belum lagi, Kri, Ti. Kita tidak dapat apa-apa dari hasil jerih payah itu. Hanya pemenuhan nilai yang tidak tahu indikatornya bagaimana, dan mungkin pemenuhan absensi.
Sukri: Benar tuh, apa yang dibilang Dodi. Tulisan kita kan memuat pikiran kita, jika tidak sepikiran dengan dosen sebagai otoritas pemberi nilai bagaimana? Aku hanya bisa berharap bahwa beliau objektif sih.
(Menikmati serunya perbincangan Dodi, Tiara, Sukri, Ira menyimak dari bangkunya yang selama itu bersebelahan dengan bangku mereka)
Ira: (Menoleh kebelakang) Ditambah guys, ada tugasnya yang dikirim e-mail, tapi kita harus print juga. Buat apa coba? Pemborosan kertas! Kasihan tau bumi. Pastinya kau setuju denganku kan, Di?
Dodi: Eh Ira, daritadi kau disana? (Tertawa) Dasar tukang nguping!
(Mereka tertawa)
Ira: Habisnya seru liat kalian curhat, hehe
Tiara: Gak pernah dicurhatin ya? Hihi.
Ira: Hihi-hihi aja kamu, aku hajar kau!
Tiara: Coba saja sini
Ira: Dasar mulut iblis!
(Tiara dan Ira pun berkelahi bertukar umpatan, sedangkan Dodi dan Sukri kebingungan melihat meka bertengkar)
Tamat
0 comments:
Post a Comment