“Apa? Besok malam? Yang benar saja!” tanpa sadar, Jian mulai meninggikan suaranya kepada seseorang yang ada di sebrang telepon. Kemudian ia menghela nafasnya, ketika sadar bahwa ia sedang meninggikan suara kepada istri tercintanya, Maya. Terdengar ucapan permintaan maaf dari sebrang telepon yang mengatakan bahwa istrinya tersebut tidak dapat izin pulang malam ini dari atasan rumah sakit tempat ia bekerja. Kebetulan, rumah sakit tempat Maya bekerja sedang mengadakan kerja sukarelawan di kota kecil yang cukup jauh dari rumahnya berada, sekitar 3 jam perjalanan ditempuh dengan mobil.
“Tapi ini sangat mendadak, aku kira kau akan pulang cepat. Jason pasti akan mencarimu ketika bangun nanti..” Lelaki jangkung itu tidak bisa berhenti melangkahkan kaki jenjangnya itu mondar mandir di ruang tamu dekat jendela. Diletakkannya tangannya itu di pinggangnya, mendengarkan istrinya yang terus memberikan nasihat – nasihat apa yang harus dilakukan Johan ketika anak laki – laki pintar jagoannya yang masih balita, Jason, terbangun dari tidurnya di pagi hari nanti. Atau mungkin malam ini. Johan menatap kosong keluar jendela ruang tamunya. Kendaraan masih berlalu lalang didepan rumahnya meskipun sudah tak banyak lagi.
“Baiklah, apa boleh buat jika para lansia dan orang – orang yang sedang sakit disana sedang membutuhkan bantuanmu. Lagipula, ini sudah larut malam dan jalanan sedang sepi. Gunakan pakaian dan selimut hangat ketika kau tidur dan jangan lewatkan jam makanmu. Aku akan menghubungimu jika terjadi apa – apa. Sampai bertemu besok, Maya.” Helaan nafas Jian yang cukup berat, menunjukkan seberapa beratnya kenyataan bahwa Maya tidak dapat pulang hingga besok malam bagi seorang Jian. Masalahnya, baru kali ini ia ditinggal hanya berduaan saja dengan Jason dan tidak ada catatan – catatan khusus yang ditinggalkan Maya untuk mengurus Jason. Hanyalah pesan – pesan Maya sebelum ia menutup pembicaraannya yang dapat ia andalkan sekarang.
“Ayolah, aku seorang ayah. Sudah pasti aku harus menjaga anakku ketika istriku tak ada. Bisa. Aku pasti bisa! Ah, kau keren sekali” Jian mengangguk – anggukkan kepalanya sambil menatap bayangannya yang samar – samar terlihat di jendela dekat tempatnya berdiri. Sifat lucu dan percaya dirinya yang ia miliki, mungkin merupakan salah satu alasan Maya memilihnya menjadi teman hidupnya. Jian melangkahkan kakinya dengan mantap menuju kamar utama dimana Zidan sang jagoan kecilnya sedang tertidur dengan tenang dan lelap. Tentu saja setelah mengunci semua pintu rumahnya dan memastikan semua keadaan rumah sudah aman untuk ia tidur, sama seperti yang sering istrinya lakukan.
~~~
            Jian meregangkan tubuh kakunya diatas tempat tidur. Ponsel hitam merk keluaran negeri gingseng yang ia letakkan di nakas samping tempat tidur telah menunjukkan pukul tujuh pagi. Seketika, perasaan mengantuknya hilang. Ia mendudukkan tubuhnya yang masih malas untuk beranjak dari kasur sebentar, lalu menoleh kearah Jason yang masih tertidur pulas. Senyum kecil mengembang tanpa sadar, dan tangannya terulur mengusap rambut sehat dan lembut anaknya, yang ia yakini adalah salah satu dari campur tangan istrinya yang dengan telaten dan penuh kasih sayang merawat anaknya selama ini.
            “Anak pintar, bangunlah ketika ayah sudah selesai dengan urusan rumah, oke?” Jian berbisik pelan lalu beranjak dari kasur nyamannya. Ia melangkah dengan hati – hati, takut membangunkan anaknya. Beranjaklah ia ke ruang tamu dan menemui tumpukan mainan yang tersebar dimana – mana sisa semalam, ketika Jian dan Jason bermain bersama sambil menunggu Maya pulang. Namun ditengah permainan serunya dengan anaknya, Jason kelelahan menunggu dan akhirnya tertidur di pelukan ayahnya. Memikirkannya membuat Jian mau tidak mau juga memikirkan Maya.
Tiba – tiba, ruang tamu yang berantakan di pagi hari membuat Jian merindukan Maya. Jian juga merasa bersalah ketika dulu membiarkan ruang tamu tidak tertata rapi semalaman namun ruang tamunya berubah menjadi rapi ketika ia terbangun. Ia mulai membereskan ruang tamunya, dimulai dari mengambil berbagai koleksi dinosaurus Jason yang tergeletak di lantai. Akhir – akhir ini, Jason sangat tertarik dengan dinosaurus. Kemarin, Jason menyebutkan semua nama – nama dinosaurus yang dia punya, bagaimana mereka berjalan, makanan apa yang mereka makan, apa kegunaan ekornya yang kuat, mengapa ada leher dinosaurus yang panjang, dan hal lainnya yang Jian akui, ia sudah melupakannya karena banyaknya informasi yang masuk secara bertubi – tubi.
Semalam, Jason belajar menyebutkan kata herbivora, karnivora, dan omnivora untuk pertama kalinya serta belajar apa arti dari ketiga kata tersebut. Mengingatnya membuat Jian tersenyum geli. Teringat wajah Jason yang kebingungan ketika mencoba menyebutkan ketiga kata sulit tersebut, lalu memekik kegirangan setelah berhasil menyebutkannya. Jian juga membereskan berbagai macam kendaraan alat berat berwarna dominan abu – abu dan oranye kesukaan Jason serta berbagai buku milih Jason tentang kendaraan alat berat. Semalam, Jason meminta Jian menjelaskan berbagai nama kendaraan alat berat dan Jian membuka buku milik Jason sebagai pegangan ketika ia melupakan suatu nama maupun detail dari kendaraan alat berat tersebut. Teringat wajah lucu Jason yang keningnya berkerut tanda fokus mempelajari kendaraan alat berat tersebut.
“Ayah,” terdengar suara kecil yang agak serak dari balik punggung Jian. Jian membalikkan punggungnya dan menemukan anak laki – laki semata wayangnya tersebut sedang berdiri di daun pintu kamar tidurnya. Rambut – rambut halusnya yang mulai tebal dibandingkan anak seusianya, berdiri tegak seperti ayam jago yang sedang terancam musuh. Tangan mungil nan gempalnya, mengusap – usap wajah dan matanya. Mulut mungilnya yang diapit kedua pipi menggemaskan itu mulai membuka untuk bertanya “Dimana Bunda?”
Sudah kuduga, batin Jian. Ia segara menghampiri jagoan kecilnya tersebut dan mengangkat tubuh mungil Jason sebelum ia mulai menangis mengetahui bahwa Maya tidak ada disaat dia bangun. “Kau sudah bangun, hm? Apa kau tidur dengan nyenyak? Mau makan apa untuk sarapan?” Ia membawa Jason ke ruang makan, mendudukkannya di kursi khusus miliknya dan menaruh beberapa pilihan makanan seperti roti gandum, sereal, dan susu kotak rasa strawberry yang bisa dipilih Jason. Tangan mungil Jason menggapai susu strawberry, sehingga Jian membantu membukakan susu tersebut untuk Jian. Jason mulai mengarahkan sedotan ke mulut mungilnya.
“Uhmm, dimana Bunda?” ucapnya lucu setelah menyeruput habis susu strawberrynya dalam diam. Lagi – lagi Jason mencari Maya, batin Jian. Ia berpikir keras menjawab pertanyaan Jason tanpa membuatnya menangis. Jika Jason menangis, semua akan berantakan. Jian harus menghentikan tangisan Jason dengan cara menelpon Maya yang sedang sibuk bertugas sebagai dokter relawan tersebut. Jian menggendong tubuh mungil Jason yang sudah selesai menyantap sarapannya yang amat sangat sederhana itu, lalu mengusap – usap punggung Jason yang hanya selebar telapak tangannya tersebut.
“Kau merindukan dan mencari – cari Bunda tepat setelah kau bangun tidur, apa kau juga merindukan Ayah seperti kau merindukan Bunda, hm?” Tanya Jian sambil menciumi pipi Jason gemas, mengundang cekikikan melengking yang menggemaskan keluar dari mulut anak laki – laki kebanggaannya itu. “Tidak, aku tidak merindukan Ayah, wleek!” Goda Jason kepada Jian sambil menjulurkan lidahnya. Jian membelalakkan matanya kaget. Bukan merasa sakit hati akan pernyataan anak kesayangannya tersebut, namun kenyataan bahwa Jason sudah bisa menggoda ayahnya sendiri membuat Jian merasa geli. Tangan Jian yang awalnya mengusap – usap punggung Jason geli, mulai bergerak kepinggang kecil Jason membuat Jason memekik kegelian. “Kyaahk! Hentikan, ayaah! Ahahaha!”
“Baiklah, baiklah. Ayo sekarang kita mandi dan menemui Bunda. Sekarang, Bunda sedang merawat orang – orang sakit di desa, apa Jason juga mau membantu seperti Bunda?” Tanya Jian yang langsung disambut dengan anggukan lucu dari Jason. Kakinya melangkah kearah kamar mandi untuk memandikan Jason. Ia melepas pakaian Jason sebelum memandikannya, membuatnya tersenyum senang karena Jason tidak memberontak sekalipun. Sebagai ayah yang biasa sibuk di kantor dan jarang memperhatikan Jason, Jian merasa bahwa istrinya, Maya, sudah mendidik anaknya dengan sangat baik. Bahkan, Jason langsung meraih sikat gigi kecilnya dan mulai menggosok – gosok giginya dengan gerakan perlahan, membuat Jian sedikit menaikkan alisnya terkejut.
“Wow, rupanya Jason sudah bisa menggosok giginya sendiri?” Jian memperhatikan Jason dari pantulan kaca yang menunjukkan Jason sedang fokus menggosok giginya. Mulut kecilnya itu meringis lebar dipenuhi busa pasta gigi dan sikat gigi kuningnya itu bergerak – gerak pelan. Setelah dirasa bersih, Jason mulai membersihkan mulutnya dengan berkumur – kumur. Ia membalikkan badannya dan mendongak menatap ayahnya sambil mengucapkan kata – kata yang membuat tawa Jian pecah ketika mendengarnya, “tentu saja, Jason kan sudah besar!”
“Benarkah kau sudah besar? Kalau begitu, apakah kau juga bisa mandi sendiri?” Jian menaikkan alisnya seolah menantang Jason. Terlihat muka polos Jason yang mengerutkan keningnya tanda sedang berpikir, bibir kecilnya menggumamkan sesuatu sehingga kedua pipi gempalnya bergerak – gerak menggemaskan. Pemandangaan lucu itu membuat Jian menahan tawanya. Terbesit pikiran untuk menjahili Jason di pikiran Jian. Ia mundur, lalu berbalik badan memunggungi Jason dan berjalan kearah pintu sambil berkata “Jika bisa, ayah akan menunggu didepan sambil memakan sarapan ayah. Ayah merasa sangat kelaparan sekarang.”
“Aaah, tidaak!” Jason menarik ujung celana pendek Jian, menahan Jian untuk pergi meninggalkannya. Jian tertawa lepas merasa menang telah menggoda Jason. Jian pun berbalik badan dan mulai memandikan Jason setelah meminta maaf. Meskipun dengan wajah yang merengut lucu, Jason tetap membiarkan Jian memandikannya. Tidak hanya diam, Jason juga bisa menggunakan sabut serta shampoo nya sendiri, membuat Jian makin bangga kepada anaknya tersebut serta berterima kasih kepada Maya yang telah menjaga Jason dengan sangat baik.




Sumber: objekwisatadieng.com


Dieng menyimpan potensi alam yang melimpah. Salah satunya adalah wisata Golden Sunrise Sikunir. Terletak di desa paling tinggi di Asia Tenggara, Desa Sembungan, Sikunir menawarkan pemandangan alam yang sungguh memanjakan mata. Sikunir memang selama ini kondang dengan sunrise terbaik di Jawa Tengah.

Butuh setidaknya 1 jam perjalanan mobil dari pusat Kota Wonosobo untuk mencapai kawasan Desa Sembungan. Namun, lamanya waktu akan terbayar dengan indahnya  pemandangan sepanjang perjalanan. Hawa pegunungan yang sejuk turut menambah keasyikan berkendara, sehingga lelah tidak akan begitu kentara.

Oiya, untuk memasuki kawasan wisata Dieng, kita perlu merogoh kocek sebesar Rp10.000. Uang ini wajib kita bayarkan di tempat pemungutan retribusi yang akan kita temui di perjalanan setelah melewati pasar Garung. Namun, ini hanya untuk memasuki kawasan Dieng saja. Kita harus membayar bea masuk kembali di objek wisata yang ingin kita masuki. Nah, untuk memasuki objek wisata gunung Sikunir, kita harus merogoh kocek sebesar Rp5.000 saja.

Uniknya, di kaki gunung Sikunir terdapat telaga yang membentang. Telaga ini bernama Telaga Cebong, karena berbentuk seperti kecebong bila dilihat dari puncak gunung Sikunir. Di sekitaran telaga ini biasanya digunakan sebagai tempat camping ground pengunjung, karena dilarang mendirikan tenda di puncak oleh pengelola.

Untuk mencapai puncak Sikunir, kita harus mendaki selama 30 menit. Tapi, kita tidak perlu takut akan tersesat. Di Sikunir telah dibuat tangga-tangga sebagai jalur pendakian beserta pagar pengaman di pinggir tebing. Jadi, pengunjung tidak perlu repot-repot membawa parang untuk membuka jalur baru. Namun, yang kurang adalah pencahayaan. Maka, sangat disarankan bagi pengunjung untuk membawa lampu sorot sendiri-sendiri agar tidak tersandung anak tangga, atau salah menggandeng pasangan orang lain.

Di puncak, segala kelelahan selama pendakian terbayar lunas. Gunung Sumbing, Ungaran, dan Prau akan terlihat begitu cantik disinari mentari pagi. Pun dengan hutan dan pemukiman yang masih diterangi bola lampu namun berpotongan dengan matahari yang mulai muncul dari balik cakrawala. Bukan salah bila Sikunir memang disebut sebagai tempat hunting sunrise tebaik se Jawa Tengah.

Akan tetapi, alangkah baiknya bila berkunjung ke Sikunir pada musim kemarau. Selain kemungkinan turun hujan kecil, awan di langit akan lebih sedikit. Sehingga, kita bisa menikmati Golden Sunrise secara optimal.

Oiya, satu lagi, jangan lupa bawa sampahmu turun ya!


Sekitar dua minggu yang lalu, aku mendapat telepon dari atasanku bahwa aku harus dipindahtugaskan ke salah satu kota—yang dirahasiakan namanya—untuk menangani kasus pembunuhan berantai. Sebenarnya menangani kasus pembunuhan berantai memanglah pekerjaanku, tetapi entah mengapa aku merasakan bahwa kasus ini bukanlah kasus yang biasa. Menurut informasi yang aku dapatkan dari kepolisian setempat, si pembunuh selalu memilih korban secara acak. Ia tidak memandang jenis kelamin, usia, ataupun profesi. Padahal aku tahu betul bahwa di dunia ini tidak ada yang sepenuhnya acak, hanya polanya saja yang belum kita tahu. Terlebih lagi hampir setiap kasus pembunuhan berantai selalu saja bahwa para korbannya tidak memiliki keterkaitan sama sekali, namun setelah ditelusuri semua itu ada hubungannya dengan pribadi si pembunuh itu sendiri.

Sudah berhari-hari aku berusaha mengumpulkan informasi mengenai pelaku, namun sampai sekarang aku bahkan belum bisa mengetahui apakah pembunuh ini lelaki atau perempuan. Rupanya si pembunuh ini paham betul bagaimana cara meninggalkan tempat kejadian perkara tanpa meninggalkan bukti. Tetapi tidak dengan korbannya yang ke-23 ini. Ia meninggalkan secarik kertas yang bertuliskan “Aku tahu kau sedang menyelidikiku, K.” Hal ini tentu saja membuatku tertarik sekaligus merinding, karena besar kemungkinannya ia tahu identitas diriku.

“Detektif, kau masih lembur? Sudah berapa hari kau seperti ini? 5 hari?” tanya kepala polisi yang tiba-tiba datang kembali ke markas kepolisian.

“Ya, akhirnya setelah dua minggu target kita meninggalkan pesan. Aku tidak bisa membiarkan tulisan di secarik kertas ini menjadi sia-sia.” jawabku sambil memandangi foto bukti pesan tersebut di layar komputer.

“Bukankah tim forensik sudah mengabarimu? Bahwa pesan itu ditulis oleh korban sesaat sebelum dia dibunuh oleh pelaku.” lanjutnya sambil membuat segelas kopi.

“Meskipun begitu, pesan ini langsung disampaikan oleh si pembunuh kan? Aku bisa saja mengetahui seperti apa kepribadian pembunuh keji ini melalui caranya merangkai kalimat. Bapak sendiri sedang apa malam-malam kembali ke markas?” tanyaku sambil menyandarkan badan ke kursi.

“Beberapa hari yang lalu, seorang wanita datang kemari untuk melaporkan bahwa dirinya telah diperkosa di gang kecil. Namun setelah si pemerkosa hendak melarikan diri, ia dibunuh oleh seseorang yang tidak ia kenal. Dan orang tersebut tiba-tiba pergi tanpa mengatakan apa-apa. Aku hanya berfirasat bahwa orang tersebut adalah orang yang selama ini kita cari.” jawabnya sambil menghabiskan segelas kopinya dengan sekali teguk.

Sesaat setelah Pak kepala mengatakan hal tersebut, aku merasa yakin bahwa perempuan tersebut adalah kunci dari kasus ini. Rasanya seperti menemukan jawaban yang tepat ketika aku sedang mengerjakan soal ujian di sekolah. Aku paham betul bahwa instingku ini sedang berada pada seratus persen benar.

“Nah! Ini dia petunjuk terbesar kita sekarang Pak! Bisakah Bapak berikan alamat dari wanita tersebut?” ujarku penuh semangat.

“Sebenarnya aku hendak mengunjunginya pagi ini, tapi sepertinya kau lebih antusias. Dia sedang berada rumah sakit DAT, temui dia di sana setelah sesi terapinya selesai pada pukul 09:20. Jangan beri dia terlalu banyak pertanyaan, kita tidak tahu kondisi psikisnya seperti apa sekarang. Aku akan mengabarimu jika ada informasi tambahan. Hati-hati di jalan, detektif.” balasnya sambil memasuki ruangannya.

“Baik, Pak!” ujarku sembari beranjak dari tempat dudukku dan bergegas menuju mobilku di parkiran. Untuk sampai di rumah sakit DAT memerlukan waktu sekitar 40 menit dari markas kepolisian, dan sekarang masih pukul 03:55, aku pun memutuskan untuk mampir ke salah satu kedai kopi 24 jam di tengah kota. Sesampainya di sana, aku memesan Cappuccino dan membuka laptopku untuk melihat kembali data-data korban yang telah menjadi target pelaku.

Korban yang diduga adalah korban pertama pelaku merupakan seorang dosen di universitas HKA, yang dikenal sebagai dosen killer di kampusnya. Sepertinya takdir tengah memainkan genre komedi pada kehidupan dosen satu ini. Korban kedua adalah seorang janda beranak dua dan telah menikah sebanyak tiga kali. Tidak banyak diketahui tentang perempuan ini selain hubungan rumah tangganya yang tidak pernah harmonis. Aku pun menelusuri berbagai media sosial korban, dan memang tidak ada keterkaitan apa-apa di antara mereka semua. Ini malah seperti si pembunuh melihat korban dan memutuskan untuk mengambil nyawanya begitu saja.

Setelah sekitar satu jam aku menelusuri profil-profil korban di sosial media, segerombolan anak muda masuk ke kedai kopi. Mereka terlihat seperi sekumpulan mahasiswa yang biasa sarapan dan minum kopi di kedai ini. Terlihat keakraban antara salah satu dari mereka dengan si barista. Tak lama setelahnya, mereka mulai membicarakan mahasiswi-mahasiswi yang ada di kampus mereka.

“Kemarin aku lihat Ara dan Rena berjalan berdua di koridor, kau bisa bayangkan itu? Dua bidadari berjalan berdampingan, mimpi yang benar-benar jadi kenyataan.” kata salah seorang pemuda.

“Kalau Ara sudah pasti dia memang cantik, tapi apa kau belum dengar tentang Rena?” timpal salah seorang temannya.

“Memang ada apa dengan Rena?” tanya temannya yang satu lagi.

“Dia memang cantik, tapi tidak terlalu pintar seperti Ara. Anehnya, dia bisa mendapat nilai-nilai yang bagus, apalagi di mata kuliah dosen killer yang beberapa minggu lalu meninggal. Kata salah satu temannya, Rena itu memang menjalin hubungan gelap dengan si dosen killer. Makanya semenjak beliau digantikan dosen baru, Rena jadi jarang masuk kelas.” jawab si pemuda kedua tadi.

Dosen killer yang baru meninggal? pikirku, ini sudah pasti dosen universitas HKA. Aku pun memutuskan untuk mencoba bertanya ke sekumpulan mahasiswa yang berjumlah empat orang ini. Karena sudah pasti hal ini memiliki hubungan dengan kematiannya.

“Permisi,” ujarku dengan gestur memperkenalkan diri “apa kalian mahasiswa di universitas HKA?” tanyaku sambil duduk di kursi kosong di meja mereka.

“Wah, iya benar. Bagaimana bapak bisa tahu?” tanya si mahasiswa yang barusan membicarakan Rena.

“Maaf saya telah mengganggu dan mendengarkan percakapan kalian, tapi rasanya saya perlu memperkenal diri terlebih dahulu. Nama saya adalah Ken, seorang detektif yang ditugaskan di kota ini beberapa waktu lalu. Kebetulan sekali kasus yang sedang saya tangani adalah kasus pembunuhan yang menimpa salah satu dosen di universitas HKA. Apakah kalian keberatan jika saya tanya beberapa hal tentang beliau?” tanyaku sambil mengeluarkan buku catatan kecil dan sebuah pulpen.

Setelah bertanya beberapa hal kepada para mahasiswa tersebut, dugaanku memang benar adanya. Dosen yang berhubungan dengan salah satu mahasiswinya adalah dosen yang menjadi korban pembunuhan berantai yang sedang kuselidiki. Selain itu, dosen tersebut tidak hanya berhubungan dengan Rena, tetapi beberapa mahasiswi lainnya yang lebih senior dan juga junior dari Rena. Fenomena ini memang sudah tidak jarang terjadi di kampus, tapi untuk seorang dosen bejat berakhir tragis rasanya sangat mengganjal. Bisa saja kematian sang dosen hanyalah pelampiasan amarah salah seorang teman lelaki mahasiswi yang ia pernah tiduri. Karena bukan hal yang aneh kalau di kota ini ada beberapa psikopat yang mampu menyembunyikan bukti pembunuhan.

Namun itu semua tidak menutup firasatku bahwa dosen ini memang benar korban si pembunuh berantai. Dan si pembunuh berantai bisa berperan sebagai pembunuh bayaran agar orang yang memiliki masalah dengan seseorang tidak harus mengotori tangannya sendiri. Di sisi lain aku juga berteori bahwa sebenarnya si pembunuh berantai ini merupakan salah seorang mahasiswa di universitas HKA. Dan bisa saja ia saat ini sedang duduk semeja denganku. Semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa tidak nyaman berada di sekitar kota ini. Seolah-olah si pembunuh itu memang membayang-bayangiku sejak aku dipindahkan ke kota ini.

Untuk memastikan kecemasanku ini, aku pun bertanya kepada para mahasiswa tadi, “Apakah ada yang dari kalian pernah merasa cemburu kepada sang dosen karena ia berhubungan dengan beberapa mahasiswi?” tanyaku dengan nada santai.

“Bapak ini bagaimana, tentu saja banyak yang cemburu karena setiap mahasiswi yang berhubungan dengan dosen itu memiliki banyak pengagum. Jadi bisa saja ia dibunuh oleh salah seorang mahasiswanya, kita juga sudah berspekulasi seperti itu sejak berita kematian beliau muncul di berbagai media. Bahkan bisa saja teman di sebelahku ini pelakunya, ya kan Vid? Hahahaha.” jawab salah seorang mahasiswa sambil menggoda temannya.

“Hei, hentikan itu Ned! Dia itu seorang detektif, jangan bercanda yang tidak-tidak.” katanya sambil memukul pundak temannya, “Maaf kan teman saya ini, detektif. Tapi memang benar, kebanyakan yang berhubungan dengan dosen killer ini adalah mahasiswi cantik yang kurang baik di bidang akademisnya. Soal pembunuhnya ada di kampus kami atau tidak, sepertinya itu hanya urusan polisi dan detektif seperti Bapak.” lanjutnya dengan nada serius.

“Baiklah kalau begitu, terima kasih atas informasinya. Mungkin dengan beberapa temuan baru ini dapat mempercepat penangkapan si pelaku. Ini kartu nama saya, jika ada sesuatu yang berhubungan dengan sang dosen atau apapun, hubungi saja. Kalau begitu saya permisi.” ucapku sambil meninggalkan meja mereka. Aku pun kemudian bergegas ke rumah sakit DAT untuk menemui korban pemerkosaan yang diceritakan oleh Pak Kepala.

Sekitar 20 menit aku meninggalkan kedai kopi tadi, teleponku berdering. Sambil menepikan mobilku ke bahu jalan, aku mengangkat telepon tersebut. “Halo, Detektif Ken, ada yang bisa saya bantu?” ucapku.

“Detektif, periksa saku di sebelah kanan jaketmu. Temui aku di tempat yang tertulis.” jawab si penelepon dan langsung menutupnya.

Setelah mendengarkan hal itu, aku pun langsung mengecek saku kanan jaketku. Dan benar saja ada kertas bertuliskan alamat suatu tempat di dekat universitas HKA. Aku pun menunda permintaan si penelepon misterius itu dan melanjutkan perjalananku ke rumah sakit. Sebenarnya aku tahu siapa penelepon itu, dia salah seorang mahasiswa yang tadi duduk di sebelahku saat di kedai kopi. Tapi tak apa, mungkin ia punya informasi yang tidak ia ingin beberkan di depan teman-temannya.

Waktu menunjukkan pukul 09:11 dan aku telah sampai di parkiran rumah sakit DAT. Ketika aku sedang bertanya ke bagian resepsionis, tiba-tiba aku mendengar suara orang memanggilku.

“Ken? Apa itu benar kau?” ucap seseorang dari arah koridor.

“Iya, apa Anda mengenali saya?” tanyaku kepada orang tersebut. Ia terlihat mengenakan baju dokter.

“Astaga! Ternyata ini benar kau. Masa kau tidak mengenaliku? Ini aku, Hannah, teman SMA dulu.” ujarnya dengan mata berbinar-binar.

“Oh, ya! Aku ingat sekarang, kau yang dulu sering peringkat satu di kelas kan? Wow, hebat ya, sekarang kau sudah jadi dokter.” ucapku sambil mengingat penampilannya saat masih SMA.

Kami pun berbincang-bincang mengenai profesi masing-masing. Bahkan ia pun tak percaya kalau sekarang aku adalah seorang detektif. Ya memang mengejutkan sebenarnya, karena aku tergolong orang yang pendiam saat masih sekolah. Tapi itu semua hanya ada di masa lalu, dan kini aku memiliki kewajiban untuk memberantas kriminal di negara ini. Setelah cukup banyak berbincang, aku pun menanyakan perihal seorang pasien yang Pak Kepala ceritakan padaku. Ia pun langsung mengantarkanku ke depan ruangan seorang psikiater. Ia kemudian pamit untuk melanjutkan pekerjaannya.

Tak lama waktu berselang, seorang wanita keluar dari ruang psikiater tadi. Aku pun segera meminta waktunya untuk menanyakan beberapa pertanyaan sederhana perihal kejadian yang tengah menimpa dirinya tersebut. Berdasarkan keterangan yang aku dapatkan dari wanita tersebut, sosok orang yang membunuh si pemerkosa terlihat seperti seorang pemuda berusia 20-an. Terlepas dari itu semua, wanita tersebut enggan menjawab pertanyaan lain soal si pemerkosa. Dan aku tidak memaksakan dirinya karena aku paham trauma yang tengah dialaminya.

Setelah menyelesaikan urusanku dengan wanita tersebut, aku pun kembali mencari Hannah untuk berpamitan dengannya. Ia kemudian mengatakan ingin sekali untuk menghabiskan waktu lebih lama lagi jika bukan karena pekerjaannya saat ini. Jadi dia memberikan nomer teleponnya padaku dan menyuruhku untuk mengajaknya kencan di akhir pekan. Ya, mungkin sekali-kali kencan tidak buruk untuk seorang detektif.

Setelah meninggalkan rumah sakit, aku pun langsung menuju alamat yang diberikan si penelepon mesterius. Sesampainya di tujuan, aku langsung memasuki bangunan yang rupanya adalah sebuah rumah makan sederhana. Setelah melihat sekeliling, aku mendapati wajah yang tidak asing. Ya, wajah salah satu mahasiswa yang tadi pagi kutemui di kedai kopi. Aku pun langsung duduk di samping mahasiswa tersebut.

“Wah, memang hebat ya seorang detektif itu. Bisa langsung tahu siapa yang telah memberinya teka-teki kecil. Tapi aku juga sudah menduga Bapak akan datang di waktu sekarang. Pasti karena Bapak ada urusan setelah pergi dari kedai kopi kan?” ucapnya sambil menyantap ayam goreng dan sayur sop.

“Sudahlah, tidak perlu basa-basi. Bukan sembarang orang bisa melakukan seperti ini kepada seorang detektif. Apa ceritamu?” balasku mematahkan basa-basinya.

“Kalau ingin langsung ke intinya, mungkin Bapak akan langsung ingin menangkapku. Tapi baiklah, sebenarnya aku yang membunuh pemerkosa wanita yang malang itu.” jawabnya sambil meminum segelas jus alpukat. Ia terlihat begitu tenang untuk mengakui sesuatu yang bagi manusia biasa adalah hal yang mengerikan.

“Kau bercanda kan? Apa kau si pembunuh berantai yang sedang kucari selama ini?” tanyaku dengan perasaan masih tidak percaya.

“Aku tidak sedang bercanda. Tapi sayangnya aku bukanlah pembunuh berantai yang sedang Bapak cari. Walau begitu, aku bisa menuntun Bapak kepada si pembunuh berantai alias Sang Reaper. Karena aku dan dirinya itu sama.” ucapnya dengan gestur yang sangat santai.

“Kau ini cukup gila ya, mengakui tindakan kriminal kepada seorang detektif. Lantas apa yang membuatmu melakukan tindakan tersebut?”

“Sebenarnya ini sudah lama sekali. Bisa dibilang aku punya kekuatan spesial yang tidak dimiliki manusia biasa. Bapak mungkin tidak percaya, tapi aku ini bisa melihat dosa seseorang.” jawabnya sambil menghabiskan sisa ayam goreng.

“Kurasa memang ada yang bermasalah dengan dirimu ini, aku merasa bingung untuk membawa ke penjara atau ke rumah sakit jiwa. Karena kau sudah mengada-ngada dan melakukan tindakan kriminal.” kataku sambil memegang bahunya.

“Ya, aku sudah sering mendengarkan hal itu. Tapi aku akan langsung membeberkan identitas si pembunuh berantai. Mulanya aku juga masih tidak mengetahui kelebihanku ini sampai aku membunuh pemerkosa tersebut. Itu pun bukan pertama kalinya aku menyingkirkan seseorang yang dosanya lebih besar dariku. Tapi kalau detektif bersikeras ingin menangkapku, setidaknya Bapak harus mengantongi dua barang bukti dan seorang saksi kan? Tapi korbannya pun Bapak pasti tidak tahu, jadi tidak ada gunanya menyeretku ke penjara.” ucapnya sambil meremehkan hukum dan juga pekerjaanku. “Kembali lagi kepada kekuatan melihat dosa. Begitu aku menyadari bahwa aku memiliki kemampuan seperti itu, aku pun langsung mencari fenomena ini di internet. Awalnya memang agak sulit, sampai akhirnya aku menemukan forum tentang kemampuan ini. Dan rupanya aku bukanlah satu-satunya yang memiliki kelebihan seperti ini.”

“Jadi maksudmu bahwa si pembunuh berantai ini melakukan tindakannya berdasarkan dosa yang ia lihat dari orang lain?” tanyaku untuk memastikan teoriku ini.

“Ya, benar sekali. Itulah mengapa ia menamai dirinya sendiri Sang Reaper di forum tersebut. Supaya Bapak tidak bingung, forum ini hanya ada di deep web, jadi jangan bayangkan bahwa orang-orang ini sebagai orang yang bodoh. Kembali lagi ke Sang Reaper. Ia menganggap dirinya tengah melakukan pekerjaan malaikat maut sekaligus penghapus dosa di muka bumi. Cukup menggelikan bukan? Tapi itulah orang yang membuat Bapak menyelidikinya sampai berminggu-minggu.”

“Lalu mengapa kau malah menbocorkan identitasnya padaku?”

“Jadi Sang Reaper ingin memutuskan bahwa polisi atau detektif yang tengah menyelidikinya ini pantas menangkapnya atau tidak. Jadi dia memberikan sayembara di forum tersebut untuk mempertemukan dia dengan detektif, yang kebetulan detektif tersebut adalah Bapak.” lanjutnya sambil meminum habis jus alpukatnya.

“Kalau ternyata aku tidak pantas, apa yang akan terjadi?” tanyaku walau sudah tahu jawabannya.

“Ya, dia akan menyingkirkan Bapak.”

“Kalau aku datang membawa bantuan, bagaimana?”

“Hmm, mungkin itu tergantung keputusannya sendiri. Karena dia juga tidak akan datang sendirian.” ucapnya sambil beranjak dari tempat duduk dan menghampiri kasir.

“Baiklah, pertemukan aku dengan dia.” ujarku dengan perasaan agak takut.

Setelah mengatakan hal tersebut, mahasiswa tersebut mengantarkanku ke tempat yang sudah diberitahukan Sang Reaper melalui sayembaranya. Tidak terbayangkan olehku, bahwa pertemuanku dengan si pembunuh berantai tersebut adalah di tempat kedai kopi yang tadi pagi aku datangi. Dan lagi-lagi, wajah yang tidak asing kembali membuatku terkejut setengah mati.

“Hai, Ken.” Sapa seorang perempuan yang tidak aku sangka adalah buruanku selama ini. “Maaf ya, kencannya aku percepat ke hari ini. Soalnya aku sudah tidak sabar untuk menentukan takdirku, hehe.”

“Hannah, kau?!” ucapku dengan nada kesal.

“Mengejutkan, bukan? Harusnya sudah sangat terbaca olehmu, bahwa seorang psikopat biasanya adalah seorang jenius di dunia akademisnya. Dan coba tebak, mahasiswa yang di sebelahmu itu juga menjuarai olimpiade matematika berturut-turut. Itu semua berkat kemampuan spesial yang kami berdua miliki. Kompetitif, logika seorang jenius, dan obsesi yang tinggi membuat kami lebih unggul dari manusia biasa. Terlepas dari semua itu, aku akan langsung menilai apakah dirimu pantas untuk menangkapku atau tidak.” ucapnya sambil mempersilakan aku untuk duduk berhadapan dengannya.

“Hannah, aku mohon jangan lakukan ini. Masih ada jalan yang lebih baik.” pintaku dengan tulus.

“Sudahlah, Ken. Biar Sang Pemberi Kekuatan ini yang memutuskan. Baiklah Alren, sebutkan jumlah dosaku.” ujar Hannah kepada mahasiswa tadi.

“Satu juta… Sembilan ratus empat puluh tujuh ribu… tiga ratus enam puluh satu.” ucap Alren menyebutkan angka yang sepertinya adalah memang jumlah dosa yang dimiliki Hannah.

“Hahaha, cukup banyak ya. Tapi tidak apa-apa, itu sebanding dengan tugas muliaku di dunia ini.” ucap Hannah dengan nada santai. “Dan jumlah dosamu, adalah 9556. Ternyata kau menjalani hidup yang baik ya, Ken. Apakah benar angka yang aku sebutkan ini, Alren?”

“Iya, benar.” jawab mahasiswa itu dengan singkat.

“Lalu apa perjanjian yang ada pada sayembaraku?” tanyanya pada Alren.

“Jika polisi atau detektif yang akan menangkapmu memiliki dosa lebih dari satu persen dosamu, maka orang tersebut tidak pantas untuk hidup. Sedangkan bila orang tersebut memiliki dosa kurang dari satu persen dosamu, maka ia berhak menghukummu dengan hukum yang dibuat manusia.” ucap Alren.

“Ken, selamat ya… Setelah ini pasti kau akan naik jabatan. Tapi kau hanya bisa menangkapku, tidak perlu menyeret Alren dan kawan-kawan lainnya yang juga memiliki kelebihan ini. Karena dunia ini masih memerlukan orang-orang seperti kami. Nah sekarang, silakan borgol tanganku dan bawa aku ke kantor polisi. Barang bukti untuk setiap korban telah aku kumpulkan dengan baik di gudangku. Jadi kau tidak perlu bersusah payah mengumpulkan barang bukti sendiri.”

“Hannah…” ucapku sambil memandangi langit-langit.

“Ada apa, Ken?” jawabnya.

“Apakah mungkin aku bisa memiliki kekuatan itu meskipun aku tidak terlahir dengan kemampuan tersebut?”

Bravo! Kebetulan sekali, komunitas kami telah menemukan sesuatu yang menakjubkan. Bahwa kekuatan ini tertanam bukan di otak si pemilik kekuatan, tetapi ada pada matanya. Jadi dengan mengganti matamu dengan mata salah satu dari kami, kau bisa menjadi bagian dari kami. Wah, aku senang sekali bisa sama sepertimu.” ucapnya sambil memelukku dengan erat.

“Baiklah, lakukan hal tersebut. Kau seorang dokter di rumah sakit DAT karena sedang melakukan uji coba tersebut, kan?”

“Hahaha, hebat sekali detektif yang satu ini. Memangnya dengan kekuatan ini kamu ingin gunakan untuk apa?” tanya Hannah dengan antusias.

“Memburu kriminal tanpa harus bersusah payah. Agar negara ini bisa bersih dari sampah-sampah tak berguna.”


Sebagai orang yang lahir dan besar di Bali, namun sekarang tinggal di Jogja selama 5 tahun, saya kangen dengan masakan-masakan khas Bali. Untungnya tinggal di kota besar seperti Jogja, saya bisa mencari restoran dengan makanan khas Bali disini. Setelah saya cari-cari di forum dan review Google Maps, akhirnya saya menemukan salah satu restoran yang menjadi rekomendasi. yaitu : Warung Makan Khas Bali Putra.

Restoran ini berlokasi tidak jauh dari alun-alun kidul Yogyakarta. Tepatnya di Jalan Namburan Kidul No.10. Tinggal jalan kaki ke timur dari alun-alun kidul Yogyakarta sejauh kurang lebih 300 meter. Atau naik Ojol dengan tarif sekitar Rp.30.000 dengan mobil dan Rp.15.000 dengan motor apabila anda berada di sekitaran UGM-UNY. Walaupun makanan khas Bali, semua makanan disini halal karena tidak mengandung Babi. Jika Anda masih ragu, ada juga bakmi jawa dan soto di sebelah warungnya.

Yang menjadi Top Picks saya adalah Nasi Jinggo. Ada 2 porsi yaitu jumbo dan biasa. Nasi Jinggo ini terdiri dari ayam sisit, oseng kacang, sambal dan mie keriting. Ayam sisit ini yang menjadi primadona lauk dari menu ini. Ayam sisit ini adalah ayam yang sudah disuir-suir dengan bumbu khas Bali. Rasanya asin dan gurih yang lezat. Bayangkan ayam suiran soto namun ada bumbu yang membuatnya asin, gurih dan pedas. Kemudian oseng kacangnya mirip dengan kacang yang ada di nasi bungkus tetapi kali ini rasanya asin dan gurih dengan sedikit rasa pedas. Mirip dengan rasa ayam sisitnya. Sambalnya juga terasa asin dan gurih. Berbeda dengan sambal khas jogja yang manis. Selain itu anda juga harus mencoba sate lilitnya. Sate yang berbahan ikan ini sangatlah lezat. Lagi-lagi bumbunya serasi dengan ayam sisitnya. Menu lainnya ada ayam taliwang, ayam betutu,sambal kepala ikan tuna. Nasi campur dan snack-snack lainnya. Harga perporsinya untuk nasi jinggonya adalah 10.000 rupiah.

Selain itu warung ini juga bisa dipesan melalui Gofood atau Grabfood dengan nama restoran yang sama. Disini juga menerima pembayaran dengan Gopay atau OVO untuk pmebayaran cashless. Juga tersedia EDC untuk pembayaran dengan kartu debit/kredit. Akhirnya saya bisa makan-makan dan juga nostalgia dengan masakan Bali.


Suatu hari, aku sedang menulis pesan kepada mantan pacarku yang tinggal di Bali. Aku mengabarkan bahwa aku sangat rindu dengan dia. Sudah 3 tahun semenjak aku pindah ke Jogja, dan belum pernah kembali lagi ke Bali. Mengabarkan bahwa aku lulus SMA dan diterima di PTN Universitas Negeri Yogyakarta dengan jalur SNMPTN. Ya memang dia sedikit iri denganku. Namun dari awal dia sudah ingin melanjtukan pendidikan di perhotelan. Dan alhamdulillah dia juga diterima d suatu universitas ternama di Bali. Kami berjanji apabila aku ada kesempatan untuk pergi ke Bali, aku akan menemuinya dan bertemu dengan orang tuanya. Bukan dalam rangka kembali mencari cinta, namun karena dari lama kami sudah sangat akrab. Begitu juga kedua orang tua kami.

Kebetulan sekali. Seminggu setelah aku berkabar dengan mantanku ini, Bapakku mengatakan bahwa beliau akan dipindah kerja ke Madiun. Beliau semulanya bekerja di sumbawa barat, setelah 17 tahun ditempatkan di Bali. Jadi kami memiliki rumah dan perabotan di Bali. Beliau menyuruh saya untuk membawa mobil dan perabotan kecil dan baju-baju yang ada di Bali untuk dibawa dan dipindah ke Jogja. Kemudian aku sampaikan kepada mantanku bahwa aku akan pergi ke Bali namun mungkin untuk yang terakhir kali. Kesempatan emas untuk temu kangen bersama mantanku namun juga jadi perpisahan yang amat menyeedihkan.

Setelah menyusun jadwal dan persiapan semua barang yang akan dibawa akhirnya aku berangkat ke Bali menggunakan pesawat. Aku diantar ke Bandara Adisucipto oleh om dan tanteku sekaligus pamit untuk berangkat ke Bali. Aku berangkat dengan jadwal yang paling pagi dan pertama supaya tidak kesiangan berangkat jalan darat dari bali. Mantanku pun aku kabarkan bahwa aku sudah mau berangkat. Perjalanan dengan pesawat memakan waktu sekitar 1 jam. Namun karena ada perbedaan waktu antara WIB dan WITA, jadi kesannya aku sudah melakukan perjalanan selama 2 jam.

Sesampainya di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali, aku mengabarkan kepada dia bahwa aku telah mendarat. Ternyata dia telah menunggu di pintu kedatangan. Namun betapa kagetnya saat aku bertemu dengan dia. Dia menjemputku bersama kekasihnya yang saat ini. Aku shock antara kepergok minta ketemuan dan malu bercampur sedikit sakit hati karena merasa bayangan awalku akan melakukan quality time bersama mantanku. Namun ternyata kekasihnya ramah kepadaku dan tidak tau bahwa aku mantan dari pacarnya dia.

Kemudian kami mampir ke tempat makan terdekat dari Bandara. Tepatnya di warung nasi jinggo yang merupakan nasi favoritku dulu sewaktu masih tinggaal di Bali. Perpaduan ayam sisit yang asin, tempe dengan sambal khasnya kemudian ditambah mie keriting dan yang terpenting, sate lilit ikan yang lezat. Ah enaknya makan kenyang sambil bernostalgia ria. Tak lupa aku mentraktir mereka sebagai ucapan terima kasihku telah dijemput dan diajak ke warung makan yang sangat lezat ini.

Kemudian kami berangkat menuju rumah kedua orang tua mantanku. Jaraknya lumayan jauh dari tempat kami makan tadi. Sekitar 30-45km. aku diajak mencoba jalan tol Bali Madara yang baru saja dibangun. Jalan tol ini terletak di pinggir pantai dan diapit oleh sebuah selat. Jadi tidak ada ombak besar yang sampai di tol ini. Bahkan tidak ada ombak sama sekali. Letaknya sangat dekat dengan landasan Bandara Ngurah Rai jadi sesekali ada pesawat yang sedang terbang dan mendarat lewat diatas mobil kami. Sungguh pengalaman yang sangat menyenangkan. Karena posisi tol ini dekat dengan jalur pesawat, angin yang berhembus sangatlah kencang. Bahkan di dalam mobilpun terasa kencangnya. Mobil kami sedikit oleng ke kanan dan ke kiri karena terpaan angin yang kencang. Setelah dari tol, aku tertidur lelap karena paginya aku bangun lebih awal untuk mengejar pesawat.

Tidak kerasa (karena saya tidur) kami sampai di rumah kedua orang tua mantanku. Orang tuanya telah diberi tau untuk jangan bilang-bilang kalo aku adalah mantannya kepada pacarnya. Aku menyerahkan oleh-oleh wajib yang selalu ku beri kepada orang tuanya. Yaitu berupa bakpia,slondok,salak pondoh dan gethuk. Setelah itu aku dipersilahkan mandi (walaupun sebenarnya sudah mandi saat mau berangkat tadi). Setelah itu kami berbincang-bincang banyak sampai adzan dzuhur berkumandang. Akupun sholat dan bergegas ke rumahku untuk mengambil mobilku dan kembali ke Jogja. Tak lupa aku pamit dan mengatakan bahwa kemungkinan aku tidak kembali ke Bali karena orang tua yang sudah pindah ke jawa. Kami berfoto untuk mengabadikan kenangan.

Berangkatlah aku dari rumah mantanku ke rumah lamaku. Rumah yang menjadi saksi bisu kehidupanku selama di Bali. Disana aku disambut oleh warga perumahan dan teman-teman perumahanku. Tak terasa selama aku tinggal di Jogja dan sekarang mereka terlihat dewasa dan remaja. Aku pun masuk ke rumahku dan mengemas barang-barang yang sudah disiapkan dari kemarin. Kemudian aku nyalakan mesin mobilku dan ku tinggal untuk pemanasan, sambil pamitan kepada semua warga perumahan karena saya resmi pindah dari Bali. Tak lupa saya memasang tanda bahwa rumah lamaku dijual dan nomer kontak yang bisa dihubungi. Selamat tinggal rumahku. 

Akupun bergegas berangkat menuju arah pelabuhan gilimanuk untuk menyebrang ke pulau jawa
Di perjalanan aku merasa sedih dan juga puas untuk hari itu. Sungguh rasanya ingin menginap dan tinggal lebih lama. Namun waktu terlalu mepet untuk aku tinggal di Bali. Namun karena jiwa touringku yang besar, jadi peralanan ini sangatlah menyenangkan. Apalagi mobil yang ku bawa adalah mobil tercintaku, yaitu Kia Visto tahun 2003. Mobil ini dibeli bapakku karena dulu aku pernah bertanya kepada bapakku

“Pa, andai aku diantar jemput sekolah pakai mobil kayak gitu”

Padahal maksudku adalah mobil antar jemput sekolah seperti mobil travel. Sedikit terharu saat menegetahui alasannya tapi lucu juga bisa jadi kesalah pahaman yang menguntungkan. Mobil ini juga menjadi guru bapak, ibu dan aku sendiri untuk mengendarai mobi. Dan kali ini aku membawanya touring bersama. Bisa dibayangkan bagaimana senangnya aku saat itu walaupun aku sendirian membawa mobil itu.

Sesampainya di pelabuhan Gilimanuk, hal yang pertama aku lakukan setelah masuk lewat loket tiket adalah mencari pop mie. Jujur, cara menikmati pop mie yang paling nikmat adalah dengan makan di pelabuhan yang dingin dengan angin laut yang berhembus kencang. Karena angin yang kencang, aku tidak perlu meniup mie nya agar tidak kepanasan di lidah. Kemudian setelah itu aku bergegas sholat maghrib dan isya’ selama di laut, aku tetidur lelap untuk mengembalikan energi dan melepas kantuk supaya perjalanan malamku lancar.

Akhirnya aku sampai di pelabuhan Ketapang Banyuwangi. Dengan kondisi yang segar, aku bergegas memacu mobilku menuju Jogja. Selama perjalanan tidak ada spesial. Karena malam gelap jadi tidak ada pemandangan yang menarik. Padahal pemandangan selama di banyuwangi menuju situbondo saat siang sangatlah bagus. Hutan tinggi di pinggir jalan dan gunung yang terlihat disisi kiri. Namun yang menarik saat perjalanan malam adalah PLTU Paiton. Gardu pembangkit listrik ini menyalakan lampu berwarna kuning yang sangat banyak bak lilin yang sangat banyak. Tempat ini merupakan titik favorit sejak kecil saat aku pulang kampung ke Jogja bila naik bis.

Setelah sekian jam perjalanan, aku sampai di Jogja pada pukul 07.00 pagi. Jam yang tidak bagus karena berbarengan dengan orang-orang yang berangkat kerjadan sekolah. Hingga akhirnya aku sampai di rumah pukul 08.30. hal pertama yang aku lakukan adalah rebahan tidur karena perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Tetapi aku sangat puas dengan touringku kali ini. Pengalaman pertama dalam sejarah hidupku



Hari sudah sore. Sudah waktunya aku berangkat ke kantor. Malam ini sepertinya akan menjadi malam yang berat. Siang tadi, banyak orang unjuk rasa di depan kantor kepolisian. Korban-korban mulai bermunculan. Mulai dari yang terkena luka bacok, terinjak-injak, bahkan terkena pistol listrik. Malam ini aku akan melanjutkan perawatan. Memulai prosedur operasi bagi korban dengan luka berat. Aku berdoa, semoga kota Los Susi akan kembali damai seperti dulu lagi.

Hai. Namaku Joshua. Aku chief doktor di Rumah Sakit Sehat. Menjadi kepala rumah sakit ini tidaklah mudah. Seiring dengan adanya kekacauan di kota, maka korban pun akan berdatangan. Rumah sakit ini sudah seperti mesin yang bekerja dua puluh empat jam tanpa henti. Terus menerus merawat korban kekacauan kota. Baik itu dari sekelompok provokator, hingga kepolisian. Rumah sakit ini menjadi ruang netral. Tidak ada yang melawan satu sama lain. Keselamatan nyawa seseorang merupakan prioritas paling utama disini.

Ditengah kericuhan kota, ada seseorang yang membuat kondisi menjadi lebih nyaman. Samsul. Dia anak sekolah dasar yang tidak melanjutkan sekolahnya. Sehari-hari, kita bisa menemukannya di alun-alun kota. Bermain kesana kemari, mengajak orang-orang disekitarnya untuk bermain. Pada pagi hari dia biasa memberi makan kucing-kucing liar di sekitar alun-alun kota. Pada siang hari, Samsul biasanya jalan-jalan. Mencari teman. Kadang-kadang, minta dibelikan eskrim. Sorenya, dia bermain layang-layang di alun-alun kota atau di pantai. Berbagai lapisan masyarakat mengenalnya. Mulai dari geng motor, kartel, komunitas, kepolisian, hingga teman-teman rumah sakit semua mengenalnya. Samsul adalah teman kita. Membawa kebahagiaan ditengah kerusuhan kota.

Pernah kala itu Samsul datang ke rumah sakit. Waktu itu aku sedang mendapat tugas jaga. Berjalan ke arah rumah sakit sambil menuntun sepedanya. Dalam keranjang sepedanya, ada anak kucing yang terlihat berlumuran darah.

“Hey Samsul!, ada apa? Kenapa terlihat lusuh sekali?”, tanyaku.

“Pak Jos, mau minta tolong Pak Jos. Kucing Pak Jos. Dia berdarah”.

“Ya ampun. Habis dari mana kamu? Apa yang terjadi dengan kalian?”

“Tadi habis ada perampokan di bank pak. Lalu aku menemukan kucing ini di dekat bank. Tolong pak disembuhin pak”

Aku bukan dokter hewan. Walaupun begitu, aku mencoba membantu kucing tersebut. Rekan-rekan dokter kuperintahkan untuk bersiap. Perampokan yang terjadi di bank, tidak menutup kemungkinan akan adanya korban.

Kubersihkan kucing tersebut sambil ku tanya kepada Samsul, apakah dia baik-baik saja. Dia terlihat lelah, ku merasa kasian dengan Samsul. Samsul kuminta untuk istirahat di ruang tunggu. Kuberikan dia sekotak jus untuk menenangkannya. Aku kembali masuk untuk merawat si kucing. Setelah aku periksa, dia baik-baik saja. Hanya terdapat luka lecet. Sepertinya dari peluru yang menyasar. Darah yang ada ditubuhnya juga bukan darahnya. Kukabarkan kepada Samsul bahwa dia baik-baik saja.
Samsul memang anak yang baik.

Pada suatu ketika, Samsul mulai tidak terlihat di sekitar kota. Orang-orang mulai membicarakan keberadaan Samsul. Aku mulai khawatir. Rekan-rekan di rumah sakit mulai khawatir. Sudah beberapa hari ini dia tidak terlihat.

Matahari mulai muncul. Shift malamku sudah habis. Pagi ini aku berniat mencari Samsul. Aku akan mulai mencari dari alun-alun kota. Sebagai pusat keramaian kota, aku berharap bisa menemukannya disana. Namun ternyata hasilnya tidak sesuai harapan. Samsul tidak ada disini. Aku lanjutkan perjalanan ke pelabuhan, tak juga bertemu dengannya.

Hari sudah mulai sore. Hari ini merupakan hari yang panjang. Pencarian Samsul memakan cukup banyak tenagaku. Sepertinya, malam ini aku akan istirahat. Sebelum pulang ke rumah, aku mesti ke rumah sakit terlebih dahulu. Mengganti shiftku untuk hari berikutnya. Semoga malam ini tidak terjadi apa-apa di kota, sehingga aku bisa menikmati istirahatku.

Sesampainya di rumah sakit, aku melihat sepeda Samsul sedang diparkir diluar. Aku terkejut. Apa yang terjadi dengan Samsul kali ini. Semoga dia tidak apa-apa. Segera ku berlari masuk ke rumah sakit. Kudapati Samsung sedang terlentang di ruang gawat darurat. Terlihat kakinya terdapat bekas gigitan. Entah apa yang dia lakukan selama ini hingga mendapatkan luka seperti itu.

Aku mulai melakukan prosedur perawatan. Kuminta rekan-rekan untuk membantu. Lukanya terlihat cukup parah. Sepertinya bukan luka baru. Lebih seperti luka yang sudah dibiarkan terbuka terlalu lama. Samsul dibius. Kita bersihkan lukanya. Untungnya, luka Samsul tidak menyebabkan perlu dilakukannya amputasi. Kini biarkan dia istirahat terlebih dahulu. Aku yakin dia telah melewati hari yang panjang.

Samsul mulai siuman. Aku tanyakan dia habis dari mana. Kenapa dia bisa mendapatkan luka seperti itu. Sayangnya, dia tidak ingat. Yang dia ingat hanya perjalanannya ke atas gunung. Kuberikan dia obat oles, dan beberapa vitamin agar dia dapat segera sembuh. Dengan pincang-pincang, dia pamit dari rumah sakit.

Keesokan harinya, Samsul melakukan ulah yang aneh. Dia mulai usil. Di garasi kota, dia memukul-mukul mobil warga dengan tongkat baseball. Samsul meminta-minta permen ke semua orang. Ada apa ini. Apa yang terjadi dengan Samsul. Kemudian dia berlari-larian kesana kemari. Sambil tertawa. Warga Los Susi mulai curiga. Ada yang bilang Samsul mulai nakal karena stres. Ada yang bilang juga kalau dia rabies. Namun, berita kalau dia rabies cepat menyebar. Pihak kepolisian mulai khawatir akan terjadi kericuhan. Pencarian terhadap Samsul pun dilakukan.

Surat perintah penangkapan Samsul dirilis. Komunitas, warga, dokter, dan kepolisian melakukan pengejaran besar-besaran untuk menangkap Samsul. Samsul dulu anak yang baik. Aku tidak tahu apa yang membuat dia menjadi seperti ini. Dia sangat lihai. Samsul tahu seluk beluk kota ini. Maka dari itu perlu masa yang cukup banyak untuk menangkap Samsul.

Laporan masuk, komunitas motor melihat Samsul di dekat Samsat. Kami segera menuju kesana. Ternyata benar. Samsul berada disana. Sedang mengorek-orek sampah.

“Samsul!”, teriak pak polisi.

Dia menoleh, kemudian langsung berlari ke arah rumah sakit. Kami mengejar Samsul ke arah rumah sakit. Aku lupa. Dulu, aku pernah mengajak Samsul untuk melihat helikopter rumah sakit di atap. Jangan-jangan, Samsul menuju kesana. Ternyata benar. Samsul naik ke atap melalui emergency stairs di luar gedung. Untungnya, kami berhasil menangkap Samsul sebelum Samsul berhasil naik ke atas helikopter. Kami bius, kemudian kami bawa ke ruang gawat darurat.

Kami menemukan ada busa di mulut Samsul. Luka di kaki samsul mulai membusuk. Syarafnya berwarna hijau. Matanya membelalak. Giginya mulai keropos. Kukunya membiru. Setelah dilakukan cek darah, Samsul ternyata membawa sebuah virus. Virus yang belum pernah kami temui sebelumnya. Virus ini bukan rabies. Aku yakin lebih berbahaya dari rabies.

Kami bingung. Pihak kedokteran melakukan forum kilat bersama pihak kepolisian. Kami takut virus ini akan menular. Ditambah lagi, kami tidak memiliki obat untuk virus ini. Akhirnya telah diputuskan. Samsul akan diistirahatkan untuk selamanya. Jujur, aku sedih. Kota ini akan kehilangan sosok anak yang ceria. Kami akan kehilangan sedikit kebahagiaan di kota ini.

Esoknya, suntikan diberikan. Hari itu, kota menjadi tenang. Tidak ada kerusuhan. Tidak ada sirine yang berbunyi. Tidak ada perampokan yang terjadi.

Mengenang Samsul. Anak yang membawa kebahagian di kota Los Susi.




Ramadan ini rasa malas Rama menjadi berlipat ganda. Kuliah tidak libur, pun tidak ada pengurangan jam. Tugas menumpuk menyusul diselenggarakannya ujian akhir semester.

Semangat Rama sudah jauh merosot. Matanya seperti mata panda karena tidak tidur. Jelaslah ia harus lembur, mengerjakan tugas kuliah dan pekerjaan. Memang, selain kuliah, Rama juga mengambil kerja paruh waktu sebagai desainer grafis di salah satu penerbitan. Ia berjuang mati-matian agar bisa tetap kuliah dan makan. Bagaimanna tidak, uang kiriman dari orang tuanya tidak cukup untuk menyambung hidupnya selama di bulan. Biaya hidup di kota ini tak cukup ramah. Kalaupun menuntut uang kiriman lebih, Rama merasa kasihan pada orang tuanya. Apalagi ia masih memiliki empat adik yang membutuhkan biaya sekolah pula.

Sejak hari ketujuh puasa ini pula Rama melewatkan santap sahur. Ia tak pernah bangun lantaran baru tidur ketika jam di dinding menunjukkan puku 2 dini hari. Berondongan alarm yang sudah ia pasang sore hari tetap membuatnya tak bergeming.

Sejak itu pula Rama tidak lagi menunaikan ibadah puasanya. Terlebih, siang di kota ini selalu lebih panas dari siang di kampung halamannya. Imannya yang lemah membuatnya menjadi mudah lelah, dehidrasi, dan lemas sepanjang hari.

Rama menyadari betapa lemah dirinya. Jauh di dalam hatinya, ia juga merasa berdosa. Apalagi ketika harus berbohong pada ibu dan ayahnya.

“Buka puasa sama apa, nak?” tanya ibunya melalui gagang telepon.
“Anu, Bu... Sup buah,” jawab Rama asal.
“Lancar puasanya? Belum bolong kan?”
“Lancar kok, Bu. Alhamdulillah...”

Rama tidak enak hati berbohong. Rasa bersalah semakin menghantui dirinya. Namun, ia tidak ingin ibu dan ayahnya bersedih atau marah jika mengetahui ia tidak berpuasa sejak hari ketujuh puasa Ramadan. Selain itu ia juga merasa malu pada adik-adiknya.

Rama memang berasal dari keluarga yang agamais. Ayahnya seorang imam masjid di kampungya. Sementara ibunya seorang guru ngaji. Maka, ada kekhawatiran dalam diri Rama jika mereka mengetahui dirinya tidak menjalankan ibadah di bulan suci ini.

“Kamu salat tarawih di mana, nak?” kali ini ayahnya yang bertanya.

Rama menarik nafas panjang, menata jawaban. “Di masjid.... Kampus, Yah,” ia sedikit terbata. Kebohongan memang membuatnya gelagapan.

“Eh sudah ya, Yah... Rama mau siap-siap ke masjid. Assalamualaikum...” ia buru-buru mematikan telepon.

Ia merasa lega obrolan dengan orangtuanya selesai. Namun, hatinya justru semakin resah. Ia lagi-lagi berbohong. Ia tak ke masjid. Ia hanya menghindar dari orang tuanya.

Dilihatnya kalendar di dinding kamarnya. Sudah 10 hari menuju tanggal merah hari raya. Artinya, tak lama lagi ia akan segera pulang. Hatinya semakin gelisah. Ia merasa tak ingin pulang. Namun, ia begitu rindu pada ayah dan ibunya, juga pada adik-adiknya di rumah. Lagipula, kalau tidak pulang, ia akan kesepian di hari raya.

Rama hampir menangis. Ia sangat menyesal. Ia lantas berpikir untuk kembali berpuasa di 10 hari terakhir ini. Ia juga akan kembali salat tarawih. Namun, hatinya belum begitu siap. Godaan setan masih menghinggapinya.

Akhirnya, Rama baru kembali berpuasa di tujuh hari terakhir. Ia kembali menyantap makan sahur meski dengan mata setengah terbuka. Ia juga kembali menuju masjid kampus, meski dengan langkah kaki yang berat. Keraguan hatinya untuk pulang pun perlahan sirna. Ia justru menjadi sangat merindukan rumah. Ia sangat ingin pulang dan merayakan Idulfitri di rumah.
                                                            ***
“Mohon maaf lahir batin, Bu, Yah.... Maafkan kesalahan Rama. Di Ramadan tahun ini ibadah Rama jauh dari sempurna,” ucap Rama di hadapan ibu dan ayahnya.

“Rama hanya berpuasa dan tarawih di tujuh hari pertama dan tujuh hari terakhir di bulan Ramadah,”
Ayah dan ibunya terdiam. Saling tatap. Mereka terdiam sesaat.

“Ibu sudah tahu.... Sungguh, ibu sudah tahu,” ucap sang ibu sambil tersenyum. “Minta maaflah pada dirimu sendiri karena telah menyia-nyiakan kesempatan,”

Rama masih terdiam. Sepersekian detik kemudian terisak. Tiada amarah yang keluar dari kedua orangtuanya. Ia justru dipeluk erat.