Ramadan
ini rasa malas Rama menjadi berlipat ganda. Kuliah tidak libur, pun tidak ada
pengurangan jam. Tugas menumpuk menyusul diselenggarakannya ujian akhir
semester.
Semangat
Rama sudah jauh merosot. Matanya seperti mata panda karena tidak tidur.
Jelaslah ia harus lembur, mengerjakan tugas kuliah dan pekerjaan. Memang,
selain kuliah, Rama juga mengambil kerja paruh waktu sebagai desainer grafis di
salah satu penerbitan. Ia berjuang mati-matian agar bisa tetap kuliah dan
makan. Bagaimanna tidak, uang kiriman dari orang tuanya tidak cukup untuk menyambung
hidupnya selama di bulan. Biaya hidup di kota ini tak cukup ramah. Kalaupun
menuntut uang kiriman lebih, Rama merasa kasihan pada orang tuanya. Apalagi ia
masih memiliki empat adik yang membutuhkan biaya sekolah pula.
Sejak
hari ketujuh puasa ini pula Rama melewatkan santap sahur. Ia tak pernah bangun lantaran
baru tidur ketika jam di dinding menunjukkan puku 2 dini hari. Berondongan alarm
yang sudah ia pasang sore hari tetap membuatnya tak bergeming.
Sejak
itu pula Rama tidak lagi menunaikan ibadah puasanya. Terlebih, siang di kota
ini selalu lebih panas dari siang di kampung halamannya. Imannya yang lemah
membuatnya menjadi mudah lelah, dehidrasi, dan lemas sepanjang hari.
Rama
menyadari betapa lemah dirinya. Jauh di dalam hatinya, ia juga merasa berdosa.
Apalagi ketika harus berbohong pada ibu dan ayahnya.
“Buka
puasa sama apa, nak?” tanya ibunya melalui gagang telepon.
“Anu,
Bu... Sup buah,” jawab Rama asal.
“Lancar
puasanya? Belum bolong kan?”
“Lancar
kok, Bu. Alhamdulillah...”
Rama
tidak enak hati berbohong. Rasa bersalah semakin menghantui dirinya. Namun, ia
tidak ingin ibu dan ayahnya bersedih atau marah jika mengetahui ia tidak berpuasa
sejak hari ketujuh puasa Ramadan. Selain itu ia juga merasa malu pada
adik-adiknya.
Rama
memang berasal dari keluarga yang agamais. Ayahnya seorang imam masjid di kampungya.
Sementara ibunya seorang guru ngaji. Maka, ada kekhawatiran dalam diri Rama
jika mereka mengetahui dirinya tidak menjalankan ibadah di bulan suci ini.
“Kamu
salat tarawih di mana, nak?” kali ini ayahnya yang bertanya.
Rama
menarik nafas panjang, menata jawaban. “Di masjid.... Kampus, Yah,” ia sedikit
terbata. Kebohongan memang membuatnya gelagapan.
“Eh
sudah ya, Yah... Rama mau siap-siap ke masjid. Assalamualaikum...” ia buru-buru
mematikan telepon.
Ia
merasa lega obrolan dengan orangtuanya selesai. Namun, hatinya justru semakin
resah. Ia lagi-lagi berbohong. Ia tak ke masjid. Ia hanya menghindar dari orang
tuanya.
Dilihatnya
kalendar di dinding kamarnya. Sudah 10 hari menuju tanggal merah hari raya.
Artinya, tak lama lagi ia akan segera pulang. Hatinya semakin gelisah. Ia
merasa tak ingin pulang. Namun, ia begitu rindu pada ayah dan ibunya, juga pada
adik-adiknya di rumah. Lagipula, kalau tidak pulang, ia akan kesepian di hari raya.
Rama
hampir menangis. Ia sangat menyesal. Ia lantas berpikir untuk kembali berpuasa
di 10 hari terakhir ini. Ia juga akan kembali salat tarawih. Namun, hatinya
belum begitu siap. Godaan setan masih menghinggapinya.
Akhirnya,
Rama baru kembali berpuasa di tujuh hari terakhir. Ia kembali menyantap makan
sahur meski dengan mata setengah terbuka. Ia juga kembali menuju masjid kampus,
meski dengan langkah kaki yang berat. Keraguan hatinya untuk pulang pun
perlahan sirna. Ia justru menjadi sangat merindukan rumah. Ia sangat ingin
pulang dan merayakan Idulfitri di rumah.
***
“Mohon
maaf lahir batin, Bu, Yah.... Maafkan kesalahan Rama. Di Ramadan tahun ini
ibadah Rama jauh dari sempurna,” ucap Rama di hadapan ibu dan ayahnya.
“Rama
hanya berpuasa dan tarawih di tujuh hari pertama dan tujuh hari terakhir di
bulan Ramadah,”
Ayah
dan ibunya terdiam. Saling tatap. Mereka terdiam sesaat.
“Ibu
sudah tahu.... Sungguh, ibu sudah tahu,” ucap sang ibu sambil tersenyum. “Minta
maaflah pada dirimu sendiri karena telah menyia-nyiakan kesempatan,”
Rama
masih terdiam. Sepersekian detik kemudian terisak. Tiada amarah yang keluar
dari kedua orangtuanya. Ia justru dipeluk erat.
0 comments:
Post a Comment